Kamis, 07 Januari 2010

Hak Samlakoe Sambinoe Adat Aceh

Oleh Bahagia Ishak, Opini Harian Aceh Tahun 2007

Peudong Hukom deungon Adat

Kong Adat Adee Raja

Matee Aneuk Meupat Jirat

Gadoh Adat Hanpat Tamita

Baru saja berlalu seminar masyarakat adat Aceh tentang refleksi gerakan masyarakat adat Aceh pada 31 Desember 2007 di gedung AAC Prof. Dayan Dawood Darussalam Banda Aceh. Dari banyak pemateri menyampaikan makalahnya, ada seorang pemateri sangat menarik memaparkan makalah, yaitu Yahya Mu’ad, pemerhati adat Aceh yang telah bertahun-tahun tinggal di Negara Eropa.

Dari mulut pemerhati adat ini keluar kata-kata, “bahwa mambangun adat istiadat Aceh dengan mencontohkan cara kerja tubuh manusia. Dengan hukum mengambil Qanun Meukuta Alam Al-Asji yang mengatur sistem demokrasi atau hak dan kewajiban masyarakat untuk memilih tatacara perundangan di Aceh”.

Yahya Mu’ad, menjelaskan semua kita mengetahui apa kerja tiap-tiap anggota tubuh, seperti tangan, kerja tangan jangan dikerjakan oleh kaki. Dalam tubuh manusia ada ketentuan adat. Adat punya bahagian unit kerja dan departemen-departemen misalnya departemen otak untuk berpikir satu subjek, mata untuk melihat suatu subjek, mulut untuk berkata satu subjek, telinga untuk mendengar satu subjek dan hidung untuk mencium satu sabjek.

Otak adalah objek yang tersembunyi, dimana otak adalah adat dan hati adalah hukum. Setelah hati dengan otak telah mempunyai suatu keputusan sama, maka diambilah keputusan untuk bekerja, misalnya mengambil tas dengan menggunakan tangan, bukan dengan menggunakan kaki.

Dalam melaksanakan kerja ada peraturan yang dibuat, yaitu Qanun. Qanun adalah tambahan adat dengan hukum atau aturan pelaksana adat (otak) dengan hukum (hati). Seumpama ada tubuh manusia membutuhkan kebutuhan lain yang bersifat biologis dan rohaniah. Misalnya Laki-laki membutuhkan kehadiran seorang perempuan disisinya, begitu juga perempuan membutuhkan seorang laki-laki yang mendampinginya. Apabila laki-laki dan perempuan bergabung maka dikatakan gabungan dua orang sehingga menjadi satu keluarga.

Setelah keluarga terbentuk, maka ada suami, istri dan lahirlah anak. Suami (Samlakoe) berkewajiban menjaga dan memberi nafkah untuk istri (Sambinoe). Seperti dalam firman Allah SWT, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisaa’ : 34).

Allah SWT juga mewajibkan atas istri untuk menunaikan hak-hak suaminya, dan mengharuskan melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap rumah dan anak-anaknya, agar kehidupan menjadi harmonis dan keluarga menjadi bahagia.

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Yakni, kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum wanita dalam hal mendidik dan menghukum mereka dalam hal perkara yang diwajibkan atas mereka, baik kepada Allah maupun kepada kaum lelaki.

Konsep pembangunan pemerintahan mukim dari Qanun Meukuta Alam Al-Asji. Bertujuan agar terbangunannya pemahaman publik tentang nilai dan prinsip masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, politik, ekonomi, budaya dan cara penyelesaian konflik. Sampai hari ini konsep-konsep yang telah dipraktekkan pada masa Sultan Iskandar Muda ini telah luntur dan hilang dalam ingatan rakyat Aceh.

Sistem demokrasi atau tatacara memilih dan tatacara melaksanakan pemerintah di Aceh telah ada penyusunannya dalam Undang-Undang kerajaan Aceh, yang di mulai tahun 1630 masa kerajaan Sultan Iskandar Muda dengan melahirkan adat, hukum, qanun dan reusam. Reusam adalah sabjek pendukung reusam atau aturan pelaksana. Adap adalah mengikuti cara bertutur, seumpama mentuakan yang lebih tua dan yang muda diletakkan pada tempat yang patut dan menjalankan peraturan.

Asal qanun meukuta alam al-asji dikatakan pada system demokrasi atau hak dan kewajiban masyarakat untuk memilih tatacara perundangan di Aceh. Dalam hal perkawinan, hukumnya adalah akad nikah, ada calon istri, suami, wali dan ijab qabul nikah. Misalnya Si Ani dan Amat tidur di hotel, maka pihak hotel akan memeriksa mereka dengan menanyakan surat nikah. Apa mereka benar suami istri. Setelah Amat dan Ani menikah, maka akan dilaksanakan kanduri atau peresmian, ini di sebut Qanun. Sedangkan Reusam adalah rumah, dimana reusam tempat bagi kehidupan keluarganya.

Setelah mereka berkeluarga, dikatakanlah penduduk dan memiliki rumah, maka akan terbentuk gampong. Untuk menjadikan sebuah gampong harus ada 40 kepala keluarga atau 40 buah rumah, karena sudah cukup syarat membangun Meunasah dan sudah cukup syarat mendirikan sebuah Masjid dan sudah sah mendirikan shalat Jumat.

Pada masa kerajaan Aceh dulu, Imum Mukim adalah pemimpin adat di gampong-gampong dengan strukturnya adalah Imum Masjid, Geusyik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Peutuwa Meunasah, Keujruen blang, Keujrun Gle, Pawang Laot, Pawang Gle, Peutuwa Seuneubok, Haria Pekan, dan Syahbandar.

Bersatu paling kurang empat gampong sudah cukup membentuk satu mukim. Di mukim ada Majelis Tuha Peut Mukim dan Tuha Lapan. Tuha peut yang membuat kebijakan. Dimana dalam struktur Tuha peut harus ada orang-orang yang mempunyai ; Ahli tauhid, Ahli fiqih, Ahli tasawuf, Ahli mantek dan Ahli ilmu yang lain menurut hukum.

Majelis Tuha Lapan Mukim ada hak dan kewajiban memilih kepala adat atau hukum yang disahkan oleh Mukim. Kepala adat dalam gampong adalah Imum Mukim, akan mengangkat anak buahnya yaitu Keujruen Blang, Keujruen Gle, Pawang Laot.

Dalam gampong adanya penduduk dan Geusyik. Penduduk dalam gampong memilih Geusyik. Geusyik mengangkat wakil-wakil dalam bidang adat dan orang yang mengatur hukum. Masyarakat memilih seorang Peutuwa Meunasah yang bertugas sebagai syiar Agama dan memandikan mayat. Peutuwa Meunasah harus memilih dua orang yang diangkat sebagai petanggung jawab dalam urusan bidang hukum dan syiar agama.

Sedangkan Reusam pada anak muda gampong misalnya Ada satu gampong anak muda belum menikah melakukan khalwat. Yang menangkap adalah anak muda, dibawa kepada Geusyik. Geusyik akan melakukan ke tingkat Tuha Peut. Untuk disidangkan, apabila hal pidana tidak ada kewenangan gampong tapi harus diselesaikan secara hukum.

Pimpinan hukum dalam gampong adalah di pimpin oleh Khatib Masjid, Khatib Mesjid memperkuat struktur adat di gampong dengan mengangkat 3 orang yang bertangung jawab dalam bidang pengajian, bidang kesejahteraan dan bidang keadilan di gampong.

Penulis sendiri telah berkeliling melihat langsung perkembangan Adat Aceh, mulai dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie hingga ke Sabang. Sebagian besar rakyat Aceh kurang peduli terhadap nasib adat istiadat Aceh, ditambah lagi kurang pedulinya pemerintah untuk mengembangkan masyarakat Aceh dalam membangun kemandirian masyarakat menuju pembangunan Aceh baru.

Penulis :

Alumni Mahasiswa Teknik Kimia Unsyiah, Aktivis Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan Sekjen IPMB Lueng Putu.

Rabu, 06 Januari 2010

Dayah Menjadi “Tertuduh?”

5 Januari 2010, 09:30
Harian Serambi Indonesia

(Menanggapi opini Bahagia Ishak)

ANEH ketika membaca tulisan saudara Bahagia Ishak (BI) yang terkesan berpandangan sangat tendensius terhadap dayah (Serambi, 31 desember 2009). BI yang nimbrung menanggapi Tgk.Mahfudh Muhammad, berkait dialog antara Tgk.HN-HBN, ternyata BI belum memahami substansi persoalannya, sehingga muaranya adalah tuntutannya agar dayah mereformasi metodologi dan kurikulum pengajarannya.

Dialog yang bermula dari opini Tgk HN dan HBN, sebenarnya hanya perselihan pendapat/pemikiran. Dan ini bisa kita pahami sebagai dinamika dalam perjalanan intelektualisme dayah dan kampus di Aceh dari masing-masing pemikiran. Namun, kenapa saudara BI justru tampil menabrak dan menuduh dayah serta ulamanya dengan pontang-panting tak karuan seperti pahlawan kesiangan dalam menanggapi tulisan Tgk.MM? Statemen BI, sungguh mengewakan saya juga mungkin santri dan ulama dayah di Aceh.

Bi menuduh bahwa kecerdasan Abu Panton (Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh) tidak tertular ke dayah-dayah lain di Aceh. Apa pasal dia melecehkan santri dan ulama dayah lain seperti itu? Apakah BI sudah merasa lebih cerdas dalam memahami persoalan agama dibandingkan ulama-ulama dayah? Silahkan saja merasa lebih cerdas, tapi tidak harus memojokkan pihak lain, terlebih lagi yang dipojokkan itu adalah dayah dan ulama. BI juga tidak bijak ketika membandingkan Aceh dengan Negara Barat yang tidak melaksanakan qanun jinayat namun pejabatnya tidak korupsi, padahal negera mereka memang melegalkan praktek perzinaan.

Demikian juga tuduhan bahwa dayah telah mendewakan pemikiran Islam abad pertengahan. Sebenarnya permasalahan peradigma dayah (santri dan ulamanya) dalam melihat posisi ijtihad di era kontemporer telah tuntas dikupas oleh Tgk MM dalam opininya (Serambi, 23/12/2009). Namun karena BI belum memahami akar permasalahannya, mencerna, dan memahaminya maka muncullah statemennya yang salah kaprah. Bahkan menuduh Tgk.MM dan pihak dayah hanya berpikir syari’at syahwat saja serta melupakan syari’at pada tatanan pemerintahan yang saat ini begitu hancur.

Padahal sikap dayah yang telah dipaparkan oleh Tgk.MM telah mencakup semua itu. Antara urusan berpakaian, qanun jinayat maupun tatanan pemerintahan yang hancur seperti terjadinya kasus korupsi. Dayah memandang hal itu bisa dilakukan serentak dengan memakai fikih tadarruj dan awlawiyat (tahapan dan skala prioritas). Sangat zalim tuduhan BI bahwa dayah hanya berbicara tentang syiari’at syahwat saja.

Dayah dan ijtihad
Dayah melalui santri dan ulamanya tidak pernah menutup diri dari pintu ijtihad, dan tidak ada kitab kuning yang melarang ijtihad. Hanya saja dayah memandang bahwa ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Dengan logika yang sehat, hal ini sangat mudah dipahami. Jika pintu ijtihad dibuka selebar-lebarnya maka akan lahir banyak mujtahid yang tidak memilki kapasitas dan kapabilitas, yang cenderung hanya berijtihad berdasarkan nafsu dan logikanya saja (bukan berdasarkan perspektif Alquran dan hadist).

Bagaimana mungkin semua orang bisa be-rijtihad sementara tingkat intelektualitas umat Islam kita ketahui tidak semuanya sanggup memahami dasar hukum Islam(mashaadirul Islam) secara baik. Lalu dalam kasus batasan aurat laki dan perempuan yang sedang didialogkan, apanya yang harus diijtihadkan? Bukankah ulama-ulama kontemporer abad ini juga sepakat dengan ulama klasik mengenai batasan aurat?

Para santri dayah juga tidak pernah memandang kitab kuning sebagai aksioma(kebenaran final). Kasus beberapa santri yang menganggap kitab kuning sebagai kebenaran mutlak saya pikir tidak bisa dijadikan sample. Karena universitas-universitas pun tidak mungkin mampu mengatur tatacara berpikir mahasiswanya sesuai yang dikehendaki.

Bagaimana mungkin BI men-generalkan kasus personal. Tuduhan BI bahwa di dayah telah terjadi “pendokrinan dan penerapan ilmu secara turun-temurun dari guru kepada murid dan tidak boleh membantahnya” juga merupakan suatu tuduhan tanpa dasar yang tidak disertai analisis mendalam yang bisa dipertanggungjawabkan. Pengalaman saya yang pernah menetap di dayah selama delapan tahun membuktikan bahwa tuduhan BI tidak benar dan sangat keliru.

Saudara BI juga terkesan memaksa diri menuntut reformasi metodologi dan kurikulum pendidikan dayah, agar tradisi berpikir para santri dan ulamanya menyamai gaya berpikir mereka yang di universitas. Hal ini pada dasarnya karena ketakutan beliau sebab selama ini dayah masih terus konsisten menghambat berbagai paham-paham yang merusak akidah umat. Saya pikir dayah harus tetap terus berpegang pada paradigmanya selama ini yang terlukis lewat kaidah fiqh, “al-muhafazhah ‘alal qadim asshaalih wal-akhzdu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan tradisi dan budaya yang masih relevan serta bersamaan dengan itu juga melakukan adopsi, kreasi dan inovasi terhadap sesuatu yang dinilai lebih baik. Maka bagi dayah, realitas dunia yang semakin modern dan mengglobal merupakan gejala yang alami (sunatullah).

Terkait persoalan kurikulum pendidikan, tampaknya BI belum pernah melakukan penelitian mendalam. Banyak dayah di Aceh telah lama mengembangkan kurikulumnya atas tuntutan kaidah fiqh. Buktinya beberapa intelektual Islam di Aceh saat ini adalah merupakan alumnus dayah yang mendapatkan ilmu-ilmu dasar keislaman dari dayah. Seperti.Dr.Syahrizal Abbas, MA, Prof.Dr.Muslim Ibrahim,MA, Dr.Muhibbuttabary dan banyak lainnya. Bahkan hampir semua mahasiswa yang saat ini muncul di universitas-universitas agama seperti IAIN adalah alumni dayah. Kemudian, dari sekian banyak mahasiswa yang belajar di luar negeri banyak alumni dayah. Bahkan di Timur Tengah dapat dikatakan 100 persen.

Sikap dayah seperti ini saya pikir sudah tepat. Terbukti selama ini dayah menjadi lembaga pendidikan terdepan yang eksis memperjuangkan syari’at Islam dan membentengi umat dari kerusakan moral dan pemikiran. Eksistensi dayah seperti ini mislanya seperti pengakuan Prof.Dr. Hasbi Amiruddin , MA , bahwa hingga saat ini kelompok yang masih berpegang teguh menjaga komitmennya dalam menjaga aqidah Islam yang benar (ahlus Sunnah wal-Jama’ah) adalah pihak dayah.

Dayah tidak pernah menentang hal-hal yang bersifat kontemporer. Buktinya, sikap para santrinya yang masih konsisten memelihara dan melestarikan nilai-nilai yang relevan dengan nilai-nilai Islam, serta dilain sisi para santri atau dayah secara umum tidak pernah menutup diri dari perkembangan dunia kontemporer yang dinilai lebih baik dengan cara melakukan adopsi, kreasi dan inovasi terhadap sesuatu yang dinilai lebih baik tersebut. Hanya saja ketika hal tersebut sudah berlawanan dengan nilai-nilai Islam seperti JIL atau yang lainnya, maka saya pikir dayah memang harus siap mengcounternya. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memang dituntut agar terus menjadi benteng akidah umat, hal ini wajar saja dilakukan oleh dayah secara kelembagaan maupun santri-santrinya. Dalam kasus JIL ini kami insya Allah akan siap berdialog dengan saudara BI dan pihak-pihak lain yang sependapat dengannya. Wallahu a’lam bisshawab.

* Tgk Teuku Zulkhairi adalah anggota Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), pengajar di Dayah Darul Ihsan Tgk.H.Hasan Kruengkalee, Aceh Besar.

Antisipasi Sanitasi landfill

[ penulis: Dr. Ir. Izarul Machdar, M. Eng | topik: Kesehatan ]

BAHWA dari 100 sanitasi landfill yang dibangun di Indonesia, 150-nya tidak dapat dipakai alias gagal,” ungkap salah seorang pembicara pada acara workshop tentang “Waste Management and Inter Regional Coorporation” di Anjong Mon Mata (14 – 15 Februari 2008), lalu. Walaupun pernyataan itu seperti kalimat hiperbolik-tak-rasional, namun makna bahwa fenomena ini benar adanya. Sampai saat ini dari hampir 400 TPA (Tempat Pengolahan Akhir sampah) di Indonesia, tak satupun yang benar-benar menerapkan prosedur kerja Sanitasi landfill

Sebagai lokasi pengolahan (bukan penimbunan) sampah yang berdampak besar terhadap lingkungan sekitar, lokasi TPA memerlukan kriteria tersendiri. Sebuah lokasi tidak afdal dijadikan TPA kalau jarak terhadap air permukaan (sungai atau danau) kurang dari 150 meter. TPA tidak direkomendasikan berada dalam daerah banjir besar 25 tahunan atau kurang, serta berada di dalam zona sesar aktif kurang dari 100 meter. Walaupun secara teknologi tersedia, TPA lebih baik tidak berada di daerah pasang surut atau kurang dari 500 meter dari bibir pantai. Dengan pertimbangan nilai estetika, TPA sebaiknya tidak berada di dalam daerah pemukiman yang telah ada, dekat dengan jalan utama, apalagi dekat dengan kawasan wisata. Yang penting juga diperhatikan bahwa jarak minimum TPA dari lapangan terbang adalah tiga kilometer. Karena TPA terdiri dari sel-sel pengolahan sampah, diusahakan berada pada tanah dengan kemiringan nol hingga lima derajat

Landfill adalah lokasi yang digunakan sebagai tempat penimbunan limbah padat di permukaan tanah. Sebelumnya istilah Sanitasi landfill digunakan untuk menyatakan landfill yang menggunakan tanah sebagai penutup sampah yang ditimbun setiap harinya. Tapi sekarang sanitasi landfill menggambarkan suatu fasilitas yang digunakan sebagai tempat pengolahan sampah yang didesain dan dioperasikan untuk meminimalkan limbah padat dan mengurangi resiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Mengapa tempat pengolahan sampah harus mengikuti kaedah sanitasi? Sampah yang terdiri dari bahan organik dan non-organik apabila diuraikan oleh mikroba akan menghasilkan gas, cairan dan sisa proses. Produk peruraian sampah ini harus dilokalisir agar tidak mencemari lingkungan dan mempengaruhi kesehatan manusia di sekitarnya. Untuk melokalisir gas dan cairan ini, TPA didesain harus kedap di bawahnya dengan menggunakan lapisan khusus (geotekstil atau geomembran) atau memakai lapisan tanah liat.

Gas dari peruraian anaerobik (umumnya terdiri dari metana, senyawa-senyawa merkaptan, karbon dioksida, hidrogen sulfida) harus dikumpulkan dan diproses lebih lanjut, biasanya cukup dengan pembakaran dengan sistem flare (mirip seperti PT. Arun membakar gas-gas sisa proses). Kalau tidak, gas yang cukup menyengat hidung ini akan mengundang lalat dan mengganggu estetika di sekitar lokasi TPA. Gas metana secara serius harus dimonitor, karena gas ini dapat meledak apabila bereaksi dengan oksigen di udara pada keadaan tertentu. Hal ini apa yang terjadi di TPA Leuwigajah di Bandung beberapa waktu yang lalu. Cairan pekat dari TPA yang berbahaya terhadap lingkungan dikenal dengan istilah leachate atau air lindi. Cairan ini berasal dari proses perkolasi (umumnya dari air hujan yang masuk ke dalam tumpukan sampah) sehingga bahan-bahan terlarut dari sampah akan terekstraksi. Cairan ini harus diolah dalam suatu unit pengolahan aerobik atau anaerobik sebelum dibuang ke lingkungan. Tingginya kadar COD dan ammonia pada air lindi (bisa mencapai ribuan mg/L), sehingga pengolahan limbah tidak boleh dilakukan sembarangan. Untuk maksud mengumpulkan gas metana, biasanya lindi disirkulasi kembali ke dalam TPA agar laju produksi gas landfill lebih besar.

Permasalahan sanitasi landfill

Sangat tidak tepat mengatakan Kota Banda Aceh belum pernah memiliki sistem sanitasi landfill untuk mengolah sampah. Melihat dokumen Detail Engineering Design (DED) TPA Kampung Jawa, Banda Aceh (Nomor K.U 08.09-CI/P3PLP03/371/94-95 tertanggal 12 September 1994) segala aspek sanitasi landfill yang dipaparkan di atas seluruhnya tercakup di dalam dokumen tersebut. Tempat pembuangan akhir sampah (istilah pada dokumen tersebut pada saat itu) di Kampung Jawa yang Sanitasi dijadikan salah satu kriteria pendukung mengapa Banda Aceh mendapat penghargaan Adipura pada saat itu. Jelas di sini tidak mungkin kalau sistem open dumping yang dipakai saat itu.

Membuka dokumen tersebut lebih lanjut terpapar bahwa lokasi yang dipakai hingga saat ini masih berada di dalam zona area-1 dari 3 zona rencana (jadi masih 30 persen dari target perencanaan). Seluruh area dilapisi dengan clay liner setinggi 60 cm untuk mendapatkan koefisien permeability lebih kecil dari pangkat minus 7 cm/detik, sedangkan untuk area dekat tambak bahkan digunakan liner setebal 120 cm. Terdapat lebih dari 20 pipa ventilasi, 5 bak pengontrol, serta 4 kolam pengolahan lindi. Dijelaskan selanjutnya bahwa tanah penutup harian sampah dipasok dari Mata Ie dan Ujong Bate. Mekanisme pengoperasian dan perawatan (pengelolaan) sangat jelas dipaparkan.

Sekarang jadi pertanyaan, mengapa TPA Kampung Jawa seolah gagal dalam pelaksanaannya (lihat kejadian tahun 2002 ketika terjadi kebocoran lindi yang mencemari tambak rakyat). Apakah salah prosedur atau ada masalah lainnya. Sebelum kita kesana mari kita tengok beberapa ilustrasi di bawah ini.

Kembali ke TPA Kampung Jawa, saya secara pribadi mengetahui betapa komitmen pimpinan dan staf DKP Banda Aceh sebelum tsunami perlu acung seluruh jari, tidak hanya jempol. Daya juang pekerja kebersihan sangat tinggi walaupun dengan fasilitas minimal. Tapi mengapa skenario DED tak dapat dijalankan? Menurut analisis saya, pada saat itu biaya tanah penutup harian (yang harus diambil dari Mata Ie atau Ujong Bate) tidak dapat dipenuhi oleh Pemda karena memang prioritas pengelolaan sampah berada pada rangking ke sekian. Selanjutnya mekanisme pungutan retribusi yang tidak jelas antara DKP dan Dinas Pendapatan Daerah (Perda No. 3 Tahun 1990) yang menyebabkan kurang efisiennya pemanfaatan retribusi yang langsung dapat dipakai untuk pengelolaan sampah. Akibatnya sampah hanya ditumpuk dan TPA Kampung Jawa akhirnya menjadi open dumping. Monitoring gas dan lindi tidak dapat dilakukan secara periodik, karena di samping fasilitas laboratorium dan biaya analisis sama sekali tidak ada, ditambah lagi banyak pipa pengumpul lindi dan saluran penangkap gas yang rusak. Sampai akhirnya dihantam tsunami 2004, TPA Kampung Jawa apa yang kita lihat sekarang ini.

Pentingnya perencanaan TPA

Ibarat kuman di seberang pulau tampak, jengkol di pangkal hidung tak terasa. Tak perlu harus ke benua Eropa sana hanya untuk study banding pengelolaan sampah domestik. Dengan model budaya melayu kita dalam melihat sampah, sejarah perencanaan dan pembelajaran pengelolaan TPA Kampung Jawa sudah cukup menjadi referensi utama pelaksanaan Integrated Sanitasi landfill (Sanitasi landfill Terpadu) yang akan dibangun di Desa Data Makmur, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. Dengan biaya begitu fantastik dari multi donor untuk mewujudkannya, yang katanya satu-satunya di Indonesia (mudah-mudah tidak berakhir seperti Tower Air Taman Sari), diperlukan perencanaan pengelolaan yang betul-betul sempurna. Kalau perlu lakukan simulasi sehingga faktor mis-management dapat diantisipasi sejak dini.

Berpedoman pada pengelolaan TPA Kampung Jawa, aturan main (Perda) retribusi sampah harus dirancang khusus. Lagi pula Sanitasi landfill terpadu ini berada di kawasan Kabupaten Aceh Besar sedangkan sumber sampah banyak berasal dari Kota Banda Aceh. Dengan mengabaikan sementara rencana program insentif CDM (Clean Development Mechanism), analisis sumber biaya dan rencana aturan main pengelolaan harus dilakukan sedini mungkin. Tapi perlu diantisipasi biasanya terlalu kaku dalam aturan sering menyebabkan proses pengelolaan tidak suskses. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa tidak seorangpun menginginkan sampah, tetapi sampah tidak tertangani hanya dengan peraturan di atas kertas. Perlu dirancang suatu manajemen praktis tetapi tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Dalam hal ini bolehlah kita bercermin ke Malaysia (tidak perlu Jerman atau Jepang) karena akar budaya sama, bagaimana mengajak partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Apa yang benar-benar pertama sekali harus dilakukan dari lingkaran setan pengelolaan sampah ini.

Untuk semua ini dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk mengatasi, tak hanya dari panitia pelaksana pembangunan TPA terpadu saja. Dengan kata lain jangan ada satu pihakpun yang tak setuju. Budaya masyarakat seperti membuang sampah sembarang harus dihilangkan, tentunya dengan melengkapi tempat-tempat pengumpulan sampah yang mudah terakses. Keterlibatan pihak swasta juga perlu didukung. Kesimpulan dari semua ini, dukungan anggaran yang memadai menjadi kunci keberhasilan pengelolaan sampah. Kita berharap, TPA terpadu di Desa Data Makmur bukan menjadi salah satu TPA yang gagal di kemudian hari. Momen seperti ini tak akan pernah terulang lagi. [sumber. Hr. Serambi Indonesia]

*) Penulis adalah Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Unsyiah.

Mubes Cendikiawan Pidie Jaya Dipaksakan

Harian Aceh, Selasa, 12 Pebruari 2008
Banda Aceh | Harian Aceh—Delapan paguyuban dalam wilayah Kecamatan Pidie Jaya yaitu IPEMADU Meureudu, IPMB Lueng Putu, FOSMADA Meurah Dua, IPEMAJA Jangka Buya, IPEMABA Bandar Dua, IPM-PRAJA Panteraja, Ikatan Mahasiswa Tringgadeng, dan USA Ulim mempertanyakan legalitas hasil Mubes Cendikiawan Pidie Jaya yang dilaksanakan pada Minggu (10/2) kemarin di Opprom Kantor Bupati Pidie Jaya.

Ketua Panitia Pembentukan Paguyuban Mahasiswa Pidie Jaya di Banda Aceh, Syahrial Anwar, Senin (11/2) menjelaskan bahwa Panitia Pelaksana Musyawarah Bersama (Mubes) Forum Cendikiawan Muda Peduli Pidie Jaya dinilai belum siap dan terlalu dipaksakan pelaksanaannya.

Hal ini, kata dia, dapat dilihat dari tidak siapnya panitia pelaksana dalam memilih presidium sidang untuk membahas AD/ART, GBHO, GBHK lembaga dalam Mubes yang dudah digelar tersebut. Malahan, sebut Syahrial, duluan memilih seorang Ketua Umum Cendikiawan Muda Pidie Jaya.

“Kepada panitia janganlah melakukan kebohongan publik dengan duluan memilih seorang ketua umum organisasi. Ikutilah prosedur yang berlaku dalam melahirkan organisasi penguyuban,” ujar Syahrial memohon tegas.

Syamsul Rijal, Ketua Umum IPEMADU Meuruedu, menambahkan, hari ini pihaknya di Banda Aceh sangat mempertanyakan legalitas Mubes tersebut. Samsul mengharapkan kepada pemerintah daerah, tokoh-tokoh dan semua eleman dari keluarga besar masyarakat Pidie Jaya untuk meninjau kembali hasil Mubes yang telah dilahirkan.

Syamsul menjelaskan bahwa Mubes itu tidak dibuka langsung oleh pemerintahan daerah, padahal yang mewakili Pemda ada. Naumn, Mubes itu dibuka langsung oleh panitia pelaksana Mubes.

“Kenapa ini terjadi! kenapa Pemda Pidie Jaya tidak membuka Mubes,” tanya Syamsul dengan tersenyum nyengir kuda.

Lebih lanjut Syamsul Rijal juga mempertanyakan keabsahan peserta Mubes yang berasal dari kalangan mahasiswa, pelajar, pemuda, santri, pemuda, Sekda Pidie, Ketua DPRD, KPU/KIP Pidie, Ketua MPU Pidie dan Pidie Jaya. Menurutnya, semua mereka hanya menghadiri acara seremonial yaitu pembukaan acara, tapi mereka tidak menjadi peserta Mubes.

“Tidak ada peserta Mubes dan peninjau yang mendapatkan mandat dari organisasi bersangkutan untuk menghadari Mubes kemaren,” sebutnya.

Hal yang sama juga dipertanyakan oleh Ketua umum IPEMABA Bandar Dua, Fakhrurrazi Ismail, Ketua Umum IPM-PRAJA Panteraja, Zakaria Praja, Ketua Umum FOSMADA Meurah Dua, Fadli, S.Pd.I, Ketua Umum IPEMAJA Jangka Buya, Alfian Al-Fonso, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Tringgadeng, Agustiar, Ketua Umum USA Ulim, Muttaqin, serta Bahagia Ishak, ST Sekjend IPMB Lueng Putu.

Bahagia menjelaskan, dalam Mubes harus membahas semua persoalan lembaga, nama lembaga, Visi Misi, dengan dimulai dari rapat pleno, pembagian komisi dan rekomendasi-rekomendasi. Kata dia, ketua umum bukan tukang buat semua itu.

“Ketua Umum tugasnya bukan mempersiapkan AD/ART, GBHO, dan GBHK lembaga, tapi menjalankan program kerja, visi dan misi lembaganya,” demikian Bahagia Ishak.(taz)

Aktivis Pidie Jaya Bentuk Forum Cendikiawan Muda

Harian Aceh, Rabu, 06 Pebruari 2008
Meureudu| Harian Aceh—Gabungan aktivis/cendikiawan muda yang berasal dari beberapa organisasi masyarakat (Ormas) dan Organisasi Dayah Kabupaten Pidie Jaya berinisiatif membentuk panitia persiapan (tim perumus) Musayawarah Besar (Mubes) Forum Cendikiawan Muda Peduli Pidie Jaya, yang akan dilaksanakan pada 10 Februari 2008 nanti.

Ketua panitia persiapan, T. Musally, mengatakan, lahirnya ide ini berawal dari kondisi Kabupaten Pidie Jaya yang baru pemekaran, sehingga, kata dia, masih perlu dukungan dan kepedulian dari cendikiawan muda untuk menjadikan kabupaten tersebut sebagai pilot projek atau percontohan dari kabupaten lain.

Musally mengatakan, program utama dari forum yang akan dibentuk nantinya, untuk jangka pendek, menyukseskan Pilkada Pidie Jaya 2008 dalam menentukan pemimpin yang baik dan mampu membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi masyarakat Pidie Jaya.

“Program jangka panjangnya untuk mendampingi pemerintah daerah dalam program yang dijalankanya serta program lainnya yang tidak tersentuh natinya,” terang Musally.

Selain itu, Irfan Sofyan, sekretaris panitia, menambahkan, pembentukan

forum tersebut bukan untuk saling bersaing merebut kekuasaan dalam berorganisasi. Namun, untuk mempersatukan serta membangkitkan semangat para cendikiawan Pidie Jaya agar lebih peduli terhadap daerahnya.

Selain itu, tambahnya, dengan adanya Musyawarah seperti ini, seluruh komponen, unsur cendikiawan Pidie Jaya akan berkumpul bertukar fikiran dan saling kenal-mengenal satu sama lain.(fan)

Kapan Investor Investasi di Aceh?

Harian Aceh, Kamis, 01 November 2007
Oleh Bahagia Ishak, ST

KENAPA investor belum juga menginvestasikan uangnya di Aceh? Padahal Gubernur Irwandi Yusuf terus melakukan lawatan ke luar negeri. Dengan ada kunjungan itu maka timbul suara dari bawah yang mempertanyakan kenapa beliau sering keluar negeri? Apa misinya dengan keliling dunia? Melancong atau membawa aspirasi rakyat Aceh. Adanya kunjungan ini membuat gerah sejumlah kalangan berpengaruh di Aceh dengan mempertanyakan. Dari jawaban pak Gubernur seperti dimuat oleh harian ini edisi 27 September lalu mengatakan bahwa sering ke luar

negeri bukan untuk jalan-jalan, tuduhan melancong itu tak beralasan, kunjungan itu karena saya menjalankan tugas, katanya dalam konferensi pers di kantor Gubernur.

Seorang Kepala daerah sah-sah saja melakukan kunjungan silaturahmi ke banyak negara, karena itu haknya dalam menciptakan sistem investasi. Tidak mungkin orang kaya datang ke rumah orang miskin untuk meminjamkan uangnya, tapi orang miskin harus datang ke rumah orang kaya. Itupun belum tentu uang bisa pinjamkan. Seadainya diberikan, harus melewati syarat tertentu. Karena itu orang kaya tidak gampang meminjamkan uangnya pada orang miskin.

Sekarang kita lihat hasil dari safari Gubernur ke luar negeri, apa hasilnya? Berapa banyak perjanjian kerjasama penanaman modal dengan para investor telah ditandatangani? Timbul lagi pertanyaan, ke mana larinya semua perjanjian itu? Sektor mana saja yang telah dilaksanakan Investasi? Sampai hari ini, semua itu baru wacana dan hanya tertulis di lembaran kertas putih yang telah menjadi saksi bisu. Apa semua itu akan ada hasilnya?

Jangan-jangan sebatas acara perjanjian penandatanganan kontrak investasi yang tidak ada hasilnya. Mana bukti investor menanam modal di Aceh? Pak, rakyat menunggu dan menunggu. Rakyat ingin bukti, misalnya dengan hadirnya gemuruh suara mesin terdengar di pelosok negeri Aceh, dan cerobong-cerobong raksasa mengepulkan asap, pertanda pabrik lagi beroperasi, mengolah dan memproduksi hasil olahannya.

Coba lihat negara tetangga, perkembangan kehidupannya maju, sedangkan negeri kita masih jauh ketinggalan. Bila dibandingkan tingkat kemakmuran rakyat, lebih banyak hidup melarat dan miskin dengan orang kaya. Sekarang, sudah saatnya Pemerintahan Aceh bergerak membangkitkan ekonomi orang Aceh dari tidur panjang menjadi penghuni negeri Aceh makmur dan sejahtera.

Aceh berpeluang maju dan berkembang dengan membuka seluas-luasnya kran investor menginvestasikan pembangunan industri di Aceh. Karena Aceh memiliki sumber daya alam yang besar, sampai hari ini belum dikelola optimal oleh pemerintah dan swasta. Walaupun ada yang mengelola kekayaan alam, hanya demi mencari keuntungan bagi perusahaannya, bukan mensejahterakan rakyat Aceh.

Untuk mencapai perekonomian Aceh baru yang modern dan kompetitif bukan hanya mimpi, tapi harus kerja keras dengan sinergi dan serius berusaha untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, maka akan terbuka lebar jalan menuju kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di masa mendatang.

Wahai Pemerintah Aceh, buktikan diri engkau bahwa industrialisasi rakyat dapat terwujud, sehingga merubah wajah negeri Aceh menjadi daerah industri. Hal ini harus dilakukan dengan kesabaran, dan membutuhkan waktu sepuluh hingga dua puluh tahun, sedangkan masa kerja anda hanya lima tahun. Apa sanggup memberi kemakmuran bagi rakyat Aceh.

Dengan tercapai cita-cita luhur ini, sehingga terwujudnya perubahan dalam segala sektor kehidupan rakyat, dan Aceh tumbuh menjadi negeri makmur, berkeadilan, dan adil dalam kemakmuran.

Tercapainya iklim investasi yang dinamis sangat ditentukan beberapa faktor, seperti keamanan, stabilitas politik, infrastruktur memadai, dan yang sangat penting adalah regulasi dan insentif yang dapat diberikan pemerintah untuk mendukung investasi.

Eksplorasi minyak dan gas bumi

Masa kejayaan kilang PT. Arun NGL dan PT. Pertamina DOH Sumbagut tinggal menghitung hari, karena persediaan sisa cadangan migas di ladang gas Tanoh Pase dan Rantau Aceh Tamiang semakin menipis. Diperkirakan Arun hanya bertahan sampai tahun 2014 setelah disedot hasilnya secara besar-besaran dari perut bumi sejak 1978 silam sampai sekarang. Sehingga kandungan yang terdapat dalam setiap reservoirnya terus mengalami penurunan secara alami.

Dengan berakhirnya masa kejayaan kedua perusahaan raksasa ini, maka sudah tiba waktunya bagi pemerintah Aceh membuka lahan industri baru dengan mengeksplorasi pabrik lain di bumi Aceh. Kata orang tua, setiap sudut tanah Aceh bisa menghasilkan migas, hal ini terbukti dengan ditemukannya titik-titik semburan gas yang keluar dari lapisan atau formasi penghasil migas karena adanya tekanan dalam tanah cukup besar, maka minyak mentah bercampur dengan gas menyembur sendiri kepermukaan tanah, yang biasanya disebut semburan alam (Natural Flowing).

Menurut ilmu Geologi, tidak ada seorangpun dapat menyakinkan tentang adanya minyak dan gas di dalam tanah sebelum mata bor benar-benar menyentuh lapisan reservoir minyak dan gas di dalam formasi bumi. Pada tahap eksplorasi ini, para ahli reservoir memperkirakan prospek teknis dan ekonomis dari sumur eksplorasi tersebut. Beberapa kasus telah terjadi, rakyat tidak melakukan tahap penjajakan untuk membuktikan ada tidaknya cadangan minyak dan gas di dalam tanah. Tapi rakyat menemukan ladang gas dengan membuka sumur air untuk kebutuhan sehari-hari.

Eksplorasi minyak dan gas adalah eksplorasi, eksploitasi dan produksi migas dengan melakukan survey pemetaan dalam upaya melokalisasi secara kasar adanya potensi minyak dan gas bumi di lokasi tertentu (Frontier area). Teknologi yang sering dipergunakan untuk melakukan pemetaan ini adalah teknik penginderaan jarak jauh (Remote sensing), baik melalui setelit (Landsat) maupun dengan foto udara.

Tahap selanjutnya adalah melakukan survey geologi terhadap struktur dan lapisan batuan pada daerah-daerah diduga mengandung cadangan minyak dan gas, termasuk memperkirakan jumlah cadangan minyak dan gas yang terkandung dalam tanah. Metode sering dipergunakan untuk mencari sumber-sumber lokasi minyak dan gas adalah dengan metode Seismik.

Penentuan struktur batuan dan cadangan minyak dan gas dengan metode Seismik pada dasarnya bertujuan membuat peta struktur formasi batuan dibawah permukaan tanah, dengan cara merekam dan mencatat waktu perambatan (travel time) dari gelombang Seismik yang dipantulkan oleh lapisan-lapisan batuan sendimen hingga kedalaman 6000 meter dibawah tanah. Dari data Seismik dan geologi, maka didapatkan peta struktur formasi batuan dibawah permukaan tanah. Peta inilah yang akan menjadi dasar untuk dilakukannya pengeboran eksplorasi.

Sekarang, jangan berpatokan pada satu sisi industri, sudah saatnya Pemda dan Investor melirik serta membuka industri lain di daerah stategis di Aceh yang berpotensi sebagai lahan pembangunan industri masa depan Aceh.

Dengan adanya pengembangan industri, maka akan dikuti dan timbulnya dampak pencemaran lingkungan oleh limbah yang dihasilkan pabrik, apabila tidak ditangani sebagaimana mestinya oleh perusahaan akan membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Secara umum sumber pencemaran berasal dari pemukiman, perindustrian, pertanian dan transportasi.

Semoga dengan hadirnya pabrik baru akan menjadi sebagai motor penggerak perekonomian rakyat Aceh di masa depan, maka industri perlu memiliki daya saing yang tinggi yaitu kuatnya manajemen, tingginya peningkatan nilai tambah dan produktivitas produksi dapat berjalan kontiyu. Sehingga peningkatan daya saing industri akan membentuk landasan ekonomi Aceh kuat, berupa stabilitas ekonomi makro, iklim usaha dan investasi yang sehat.[]

Penulis adalah Sekjen Ikatan Pemuda Pelajar Masyarakat Bandar Baru Pidie Jaya

Sekilas Aceh Ala Bin Abas

Harian Aceh, Rabu, 13 Pebruari 2008

Oleh Bahagia Ishak

Hujan rintik-rintik membasahi ratusan pengungsi Km 60 pada pertengahan Januari tahun 2006 lalu. Kedinginan terus mendengkil, merasupi tulang belulang Ti Halimah, 56 tahun, berasal dari Teupin Mane Kabupaten Bireun. Dia mengaku kembali lagi ke Aceh Tengah dengan logat Aceh kental, Balek kunoe ingin meukubon lom, (kembali ke sini ingin berkebun lagi, katanya).

“Nak, ibu sudah tujuh hari ada di sini,” ucap Janda tua ini. Ia salah seorang penghuni tenda Km 60 Pinto Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah. Saat itu, ia bersama ribuan penghuni tenda lainnya mengadu nasib untuk mendapatkan haknya kembali, yaitu dibangun kembali rumah mereka dan aman mencari nafkah.

Saat pengungsi konflik kembali lagi secara perorangan dan berkelompok. Bila waktu malam tiba, terpaksa menginap di Mesjid dan tenda. Kedingingan menyerang di kebisuan malam, apalagi musim penghujanan, “Kami tidur dalam embun dan hanya beralaskan tanah, gak ada selimut, waktu malam kedinginan,” ucap Ti Halimah sambil menggigil.

Jauh sebelum perdamaian menyentuh bumi Serambi Mekah, ada sekelompok orang yang mengusir ribuan warga “turunan” pesisir, eksodus dari Bumi Gayo karena konflik kian meruncing, alasannya sudah jelas aksi balas dendam terhadap pendatang. Lama sekali kasus pengungsi konflik terpendam, bagai api dalam sekam, akhirnya ini menjadi bom waktu yang menunggu kapan akan meledak. Sumbunya sudah ada, tinggal memercik api, ledakannya akan mengetarkan. Sekarang, banyak jiwa pengungsi bertapa di bumi bola salju yang menuntut hak-haknya dipenuhi oleh pemerintah.

Jika membuka lembaran sejarah, telah terjadi perang saudara di sana. Semua pendatang di usir, “mereka para milisi mengusir kami,” ujar Sabirin, 42 tahun, asal Beureunuen Kabupaten Pidie.

Itu semua kisah lama, sedankan kini muncul kisah baru atau sebut saja cerita lama yang kembali. Kisah itu adalah munculnya isu pembentukan provinsi baru; Aceh Lauser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS). Perang opini pembentukan provinsi baru di Aceh diciptakan oleh orang yang mengaku pejuang rakyat. Isu ini sengaja dihembus oleh beberapa elit politik Aceh yang ada di Jakarta. Seperti Adnan MS, anggota legislatif pemilihan Rakyat Aceh dari calon independen dan Iwan Gayo cs beserta kelompoknya, ingin memecah belahkan Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka semua telah buta dan tuli dengan kekuasaan. Berharap ingin menjadi pejabat dan mempertahankan kekuasaannya. Cara paling jitu adalah dengan mengoyang Aceh dan Pemerintahan Bang Wandi dengan isu murahan ini.

Usul pemekaran telah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui inisiatif. Orang Indonesia bukan memikirkan perkembangan dan kemakmuran rakyatnya, tapi asyik memecah belahkan daerah dengan tujuan kelak menjadi pejabat daerah. Semuanya tidak ada niat tulus di hati orang yang pingin jabatan itu. Jika usul pemekaran disahkan oleh DPR RI, maka jadilah dua provinsi baru di Aceh. Apa arti semua ini jika hanya berakhir pada kekuasaan. Apa dengan terbentuknya provinsi baru itu, ribuan orang pesisir Aceh yang menetap dan mencari rezeki di ALA dan ABAS harus keluar. Lantas kemana mereka mengungsi?

Hal ini pernah terjadi dan akan terjadi lagi, seperti telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Semua pendatang diusir paksa dengan pembakaran dan pengusiran terhadap warga pendatang, termasuk etnis Jawa. Rumah dibakar, nyawa pun melayang akibat konflik yang tak kenal lelah dan berkesudahan. Apa kejadian ini akan terulang lagi, tak kala ALA dan ABAS keluar dari Provinsi NAD. Maka siap-siap yang bukan suku asli pindah dan keluar dari provinsi baru itu.

Iwan Gayo, yang mengaku sebagai Tokoh masyarakat Gayo harus berpikir bijak dan arif dengan propaganda pemecahan Aceh menjadi 3 provinsi. Bukan kalian saja yang mau memajukan daerah, daerah lain ingin maju juga.

Koran ini menulis statemen Iwan Gayo edisi (25/1) “Pak Irwandi tidak perlu marah dan menghadang pemekaran yang sedang berlanjut. Biarkan saja Republik Indonesia mengeluarkan uang, tenaga dan pikirannya untuk mensejahterakan Aceh. Saya menjamin Aceh tidak akan pecah karena pemekaran. Kesatuan budaya, agama, historis dan geografis menjamin Aceh tetap bersatu”.

Apa yang di ungkapkan ini menjadi pukulan bagi Pemerintah Irwandi Yusuf dan rakyat Aceh. Bukankah dia yang memecah belahkan Aceh? Kenapa, hanya karena kekuasaan berani mengaku dan menjamin kesatuan Aceh. Dengan suara lantang Iwan Gayo mengatakan Aceh adalah Aceh. Aceh adalah ALA dan Aceh adalah ABAS. Apa maksudnya propaganda ini?

Seandainya terbentuknya dua provinsi baru di Aceh, maka orang Aceh telah jauh mundur kebelakang. Sejarah menjadi saksi, terbentuknya Nanggroe Aceh Darussalam adalah dari bergabungnya kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh. Peleburan kerajaan menjadi satu kerajaan adalah bukti orang Aceh berjuang mengusir penjajah Portugis dari tanah rencong.

Jika ALA dan ABAS berhasil terbentuk menjadi provinsi baru, maka akan ada tokoh daerah lain berjuang membentuk provinsinya sendiri. Niscaya rame-rame berjuang memisahkan diri dari Aceh. Hal ini telah berbalik haluan pergerakan, dari pejuang kemerdekaan Aceh menjadi pejuang pemisahan diri dari Aceh. Ada apa ini? Sangat disayangkan jika hal ini terjadi, akan ada pejuang menuntut Provinsi baru di Aceh. Kalau ini terjadi, hancurlah Aceh. Mungkinkan ini akan terjadi?

Sejarah mencatat di Aceh telah banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil tersebar seluruh Aceh. Di Aceh Besar ada kerajaan Indra Patra dan Indra Purba, di Pidie ada kerajaan Pedir, di Aceh Tengah ada kerajaan Lingge, kerajaan Teunom di Teunom serta kerajaan kecil di Aceh Singkil dan Aceh Tenggara. Kerajaan Peureulak di Perlak, di Pase ada kerajaan Samudera Pase, dan ada Kerajaan Tumieng di Aceh Tamiang. Semua kerajaan ini adalah asal muasal terbentuk Aceh yakni gabungan kerajaan-kerajaan kecil sehingga menjadi sebuah kerjaan besar yaitu Kerajaan Aceh Darussalam.

Hal ini menjadi bukti bahwa Aceh terdiri dari banyak suku bangsa. Menjadikan posisi Aceh mendapat harga tawar tinggi di mata kawan dan lawan. Kekuatan Aceh di segani di dunia sehingga kala itu Kerajaan Aceh Darussalam menjadi lima kerajaan besar di dunia. Hasrukah dengan isu pemekaran itu kita hancrukan segalanya?[]

Penulis adalah mantan Pemimpin Umum tabloid DETaK Unsyiah

Investasi Industri Sawit Rakyat Aceh

Harian Aceh, Senin, 08 Oktober 2007

Oleh Bahagia Ishak, S.T.

Wacana pembukaan bermacam industri baru di Aceh telah menjadi isu hangat bagi rakyat Aceh. Hasrat dan harapan terbentang di pikiran rakyat atas adanya pembukaan pabrik baru sebagai invetasi Aceh tersebut.

Berbicara investasi industrilisasi rakyat Aceh, membutuhkan modal yang sangat besar. Perlu diketahui bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, termasuk pembukaan pabrik baru. Para investor tidak akan menanam modal apabila tidak mendapatkan benifit dan profit atau keuntungan.

Apabila investasi ini benar-benar terjadi, maka dibutuhkan modal awal trilyunan Rupiah. Harga peralatan investasi harus diproyeksi pada indeks harga masa sekarang dan indeks harga tahun pendirian pabrik. Jika terjadi goncangan ekonomi, nilai mata uang akan berubah, tergantung pada perubahan ekonomi. Semua itu merupakan demi mewujudkan perubahan dalam segala sektor kehidupan rakyat Aceh sehingga menjadikan Aceh tumbuh menjadi negeri makmur, berkeadilan, dan adil dalam kemakmuran.

Sebelum melakukan pembangunan industri, harus dilihat beberapa aspek pendukung. Di antaranya ketersediaan bahan baku, pemasaran produk dan analisa untung rugi. Pada kenyataannya, arah pembangunan di Aceh saat ini belum memperlihatkan untung- rugi.

Menghidupkan industri non migas sangat didukung dengan kondisi Aceh beriklim tropis, tanah subur dan curah hujan yang tinggi. Hal ini cocok untuk pengembangan lahan pertanian dan perkebunan. Hasil pertanian menjadi bahan baku industri nonmigas sehingga kebutuhan bahan baku dapat dipenuhi oleh petani. Peningkatan daya saing masyarakat secara berkelanjutan akan membentuk landasan ekonomi yang kuat berupa stabilitas ekonomi makro, iklim usaha, dan investasi yang sehat.

Kegiatan pemasaran produk merupakan bagian dari analisa tahap awal yang akan menentukan keberhasilan suatu industri. Pemasaran akan berhasil dan mendukung pengembangan industri di masa mendatang. Strategi pemasaran meti diawali dengan penentuan target pasar. Target pasar dapat dibidik oleh industri seperti pabrik Margarin, yaitu industri kecil dan rumah tangga.

Secara umum, pasar margarin meliputi pasar lokal dan pasar ekspor. Untuk dapat menembus pasar ekspor, tentunya margarin yang dihasilkan harus memenuhi kualitas yang baik dan sesuai dengan standar baku mutu makanan.

Menumbuhkan perekonomian Aceh perlu ada program pembangunan kembali ekonomi dengan meletakkan pondasi yang kuat terhadap pembangunan ekonomi. Pemulihan perekonomian dapat dilakukan dengan membuka peluang investasi bagi investor untuk menanam modal di Aceh. Investasi di beberapa sektor penting seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan pariwisata, akan membuka lapangan kerja baru di Aceh.

Menurut perjanjian MoU Helseinki, ada empat peluang penting pembangunan ekonomi Aceh baru. Di antaranya Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi, Aceh memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di darat dan laut teritorial di sekitar Aceh, Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh, dan Aceh berhak melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. Di samping itu, Aceh juga berhak membangun pelabuhan laut serta bandara yang akan menjadikan Aceh mempunyai akses langsung dengan daerah dan negara asing untuk ekspor, investasi dan wisata.

Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan komoditi nonmigas yang telah ditetapkan sebagai salah satu komoditi yang dikembangkan mejadi produk lain untuk ekspor. Di Aceh, kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dihasilkan.

Direktorat Jederal Perkebunan memperkirakan produksi minyak sawit pada tahun 2000 mencapai 7.465.000 ton. Pada tahun 2010, Indonesia akan menempati urutan pertama produksi minyak sawit dunia dengan jumlah produksi 12.293.000 ton.

Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit begitu pesat di Aceh. Seiring dengan kebutuhan pasar, perluasan penanaman kelapa sawit terus dikembangkan oleh perusahaan swasta dan pemerintah. Akibatnya, dari tahun ketahun pertumbuhan angka hasil produksi sawit semakin meningkat.

Sampai saat ini, Aceh belum memiliki pabrik margarin, pabrik tinta, pabrik sabun, pabrik baja, pabrik tekstil, dan pabrik batu bara. Semua jenis industri ini dibutuhkan pembukaannya demi memajukan perekonomian Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan dibukanya industri itu, maka akan meningkatkan nilai tambah bagi rakyat Aceh dan ikut menyerap tenaga kerja di sekita pabrik.

Oleh karenanya, dalam penentuan tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang, bukan hanya ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan di sektor industri saja, tetapi harus mampu turut mengatasi permasalahan daerah dan nasional. Adapun tujuan yang diharapkan dari pembangunan pabrik ini adalah membantu meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Aceh, membantu pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi nonmigas, menambah pendapatan negara berupa pajak penghasilan, dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi rakyat Aceh dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, organisasi dan manajemen perusahan sangat dibutuhkan dalam menjalankan tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing fungsional organisasi dalam suatu perusahaan agar tujuan dari pendirian pabrik dapat terpenuhi secara maksimal. Untuk mencapai keberhasilan dan menghasilkan poduk seperti yang diharapkan sangat bergantung pada koordinasi dan kerja sama saling mendukung dan berkaitan dalam hal bahan baku, tenaga kerja, modal dan penguasaan teknologi proses.

Salah satu faktor terpenting dalam merencanakan suatu pabrik adalah penentuan lokasi pabrik dan tata letak peralatan.[]

Selasa, 05 Januari 2010

Wali Nanggroe Ureung Peutimang Aceh

Hadirnya lembaga wali nanggroe dapat menjaga dan mempertahankan perdamaian serta membangun Aceh. Bertugas memimpin lembaga adat Nanggroe, independen sebagai pemersatu masyarakat. Berwibawa, berwenang membina dan mengawasi penyelesaian kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat adat serta upacara-upacara adat di Aceh.

Sejak dulu budaya dalam kehidupan masyarakat Aceh telah membentuk tata kehidupan yang kuat oleh ajaran agama Islam. Membangun moral bersama dan berperan mengarahkan kehidupan sesuai dengan nilai-nilai budaya adat luhur dalam kehidupan rakyat Aceh.

Ada dua jenis pemimpin dalam masyarakat Aceh, yakni pemimpin adat dan pemimpin agama. Pemimpin adat terdiri dari Sultan (Pemimpin kerajaan), Panglima Sagoe (Pemimpin Sagoe atau sagi), Uleebalang (Pemimpin Nanggroe) Kepala Mukim (Pemimpin Mukim), dan Geusyik (Pemimpin Gampong). Sedangkan pemimpin agama, yaitu Qhadhi Malikul Adil (pedamping Sultan di bidang agama); Qadhi Panglima Sagoe; Qahdi Uleebalang; Teungku Meunasah.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, disebut Wali Nanggroe sebagai pembina dan perekat masyarakat yang netral. Mampu mempertemukan, mempersatukan masyarakat untuk hidup rukun dan damai.

Lembaga adat adalah organisasi kemasyarakatan adat, dibentuk oleh masyarakat hukum adat. Mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berhak dan berwenang mengatur, mengurus serta menyelesaikan hal-hal berkaitan dengan adat Aceh.

Hukum adat adalah norma-norma, kaedah hukum adat Aceh yang hidup dan berkembang dalam penyelesaian sengketa-sengketa dalam masyarakat. Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan, perbuatan sikap perilaku yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat, bersendikan kepada syariat Islam.

Rancangan qanun Aceh tentang wali nanggroe dipilih dalam musyawarah khusus pemilihan Wali Nanggroe. Dikukuhkan oleh Gubernur selaku Kepala Pemerintah Aceh dalam upacara resmi. Wali Nanggroe sebagai mitra Gubernur, berkedudukan di Ibu kota Provinsi Aceh dan setingkat dengan Gubernur. Dalam menjalankan tugasnya bersifat konsultatif dan koordinatif.

Dijelaskan juga tata cara penghormatan dalam melaksanakan pemberian hormat bagi Wali Nanggroe, Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, Pejabat Pemerintah Aceh dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara kenegaraan atau acara resmi.

Syarat-syarat menjadi wali nanggroe adalah beragama Islam, orang Aceh memahami adat istiadat dan hukum adat, kharismatik, arif dan bijak, berwawasan luas, memahami sejarah dan peradaban Aceh, berusia sekurang-kurangnya 40 tahun, berpendidikan minimal SLTA atau sederajat, sehat jasmani dan rohani, jujur dan adil, tidak pernah dihukum karena melakukan perbuatan tercela walaupun satu kali (satu hari), menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia diumumkan, tidak dalam status pejabat negara atau daerah, pejabat instansi, Dinas dan swasta.

Widodo AS, MenkoPolhukan melalui Sesmenko Polhukam, Romulo Simbolan meminta kepada Pansus IX DPRA, agar disempurnakan beberapa materi qanun, sebelum disusun secara komprehensif. Hal ini terungkap saat pembahasan Qanun Wali Nanggroe dilakukan dalam pertemuan Panitia Khusus Wali Nanggroe (Pansus-XI) DPR Aceh dengan Sesmenko Polhukam, di Jakarta, Senin (21/7). Menyepakati beberapa materi penyusunan Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe agar disempurnakan kembali.

Menko Polhukam meminta lembaga wali nanggroe jangan setara gubernur akan tetapi di bawah gubernur. Item itu segera disempurnakan,” ujar Yusrizal Ibrahim, Sekretaris Pansus-XI DPR Aceh.

Menurut Yusrizal, Menko Polhukam juga meminta penyusunan Qanun Wali Nanggroe yang telah diamanahkan dalam UUPA nomor 11/2006 benar-benar dalam kerangka perundang-undangan yang berlaku, seperti konsiderans yang tertuang dalam qanun nomor 3 tahun 2007 tentang tata cara pembuatan qanun.

Penjaringan pendapat dan saran dengan pihak Menko Polhukam juga menyepakati persoalan yang timbul dalam eksekutif, adat, budaya dan agama dapat dimediasi lembaga wali nanggroe. Penyusunan qanun itu tetap berdasarkan pada UUD, UUPA serta jangan sampai berbenturan dengan peraturan perundangan di Republik Indonesia. “Namun lembaga wali nanggroe bukan juga sebagai lembaga superioritas,” ujar Yusrizal.

Sementara DR. Daoed Yusuf MH, mengatakan lembaga wali nanggroe diharapkan dapat menjadi lembaga kultural dan dihormati oleh pelaku politik serta penguasa di Aceh kelak. Anggota tim ahli dari Universitas Syiah Kuala ikut mendampingi Pansus XI bertemu dengan sejumlah pejabat tinggi di Jakarta.

Pembahasan Qanun Wali Nanggroe yang terdiri dari 18 pasal dan 10 bab kembali dilakukan pembahasan oleh puluhan tokoh warga Aceh di Jakarta dan sekitarnya. Memberikan masukan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (DDPU) di Aula Gedung Graha Bulog Jl Gatot Subroto Jakarta, Rabu (23/7). “Sengaja kami ke Jakarta untuk meminta pendapat atau input-input dari warga Aceh di Jakarta,” sebut Azhari Basyar, anggota DPR Aceh.

T Nasrullah, seorang peserta diskusi mempertanyakan sejumlah pasal yang dianggapnya tidak relevan lagi. Seperti pasal tentang syarat menjadi wali nanggroe tidak pernah dihukum. Menurutnya, pasal ini harus ada kata kecuali seperti yang dihukum karena berkaitan dengan politik.”Kita harus melihat lagi, apakah qanun ini lebih dibutuhkan oleh warga Aceh daripada qanun pembedayaan ekonomi rakyat,” ucapnya serius.

Masa jabatan Wali Nanggroe selama 3 (tiga) tahun, terhitung sejak saat pengukuhan sebagai Wali. Bila telah berakhir masa jabatannya, dapat dipilih kembali hanya untuk masa jabatan kedua kali. Wali Nanggroe dapat memberikan dan atau mencabut gelar-gelar kehormatan dan derajat adat Aceh pada perseorangan atau lembaga-lembaga baik dalam maupun luar negeri. Atas pertimbangan kelayakan karena jasa-jasanya yang luar biasa, atau karena penemuan-penemuan baru memberi manfaat kepada kesejahteraan masyarakat Aceh.

Sementara itu Juru Bicara Komite Peralihan Aceh, Ibrahim KBS menjelaskan, draf qanun ini bukanlah ditujukan untuk Hasan Tiro. Ibrahim yakin, Hasan Tiro bukanlah tipe yang mengharapkan diangkat menjadi wali. Namun patut dicatat, bagaimana selanjutnya yang bisa menjadi wali dengan sejumlah wewenang yang kuat. ”Kita menginginkan status wali itu seperti Yang Dipertuan Agung di Malaysia,” pinta Ibrahim panjang lebar.

Menurut KBS, lembaga Wali Nanggroe adalah sebuah lembaga independen yang bukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lembaga Wali Nanggroe mempunyai fungsi sebagai simbol bagi penyelenggaraan kehidupan adat, hukum adat istiadat, budaya, pemberian gelar/derajah adat serta upacara adat lainnya sesuai dengan budaya adat Aceh dan syariat. Kecuali itu, Lembaga Wali Nanggroe berhak memberikan kehormatan, gelar/derajat adat kepada perorangan atau lembaga baik dalam maupun luar negeri.

Lain lagi komentar M Adli Abdullah, Sekretaris Jenderal Panglima Laot Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengatakan Lembaga Hukum Adat Laot Aceh berada di bawah kelembagaan Wali Nanggroe lembaga adat tertinggi di Aceh, ucapnya beberapa waktu lalu di Sabang.

M Adli Abdullah mengatakan ada 11 lembaga adat yang diakui dan tunduk pada Wali Nanggroe. Kita sudah siap perangkat hukum dan sistem kelembagaan Panglima Laot. Kedudukan itu ditetapkan sesuai dengan Undang-undang Pemeritahan Aceh (UUPA) No 11/2006 yang disahkan pada 11 Juli 2006.

Adli menambahkan, lembaga adat seperti Majelis Adat Aceh, Panglima Uteun (hukum adat hutan), Keujruen Blang (sawah) dan lain-lain yang diakui keberadaannya oleh UUPA ini semakin penting untuk melaksanakan kegiatan seperti pada masa kerajaan Aceh.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Unsyiah Banda Aceh itu menjelaskan, lembaga Panglima Laot sudah berdiri sejak Sultan Iskandar Muda. Menurutnya, sejak Panglima Laot aktif kembali, masalah-masalah sesama nelayan dapat diselesaikan oleh perangkat Panglima Laot dari kota hingga ke lhok atau kecamatan.

Berdasarkan UUPA, Wali Nanggroe memiliki lembaga adat otonom yang tunduk kepadanya. Namun hingga kini, belum ditetapkan siapa yang menjadi Wali Nanggroe pertama di Aceh.

Sementara itu, Nabhani Komisi A DPRD NAD yang membahas bidang Pemerintahan dan Politik, mengusulkan masa jabatan Wali Nanggroe cukup dua tahun. Wali Nanggroe dipilih oleh tuha-tuha Nanggroe yang mewakili masing-masing Kabupaten/Kota, disepakati secara bergilir untuk menjabat Wali Nanggroe Provinsi. Sedangkan pengangkatan dan pelantikannya dilakukan oleh presiden dan atau pejabat lain yang ditunjuk.

Kewenangan Wali Nanggroe itu meliputi agama, adat istiadat, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan. Wali Nanggroe sebagai simbol pemersatu ummat di Nanggroe Aceh Darussalam. Kedudukan Wali Nanggroe itu di ibukota Provinsi, dan kedudukan, harkat serta martabat Wali Nanggroe diatur lebih lanjut dalam Qanun.

Qanun yang disampaikan Komisi A dalam rekomendasinya bersifat final, tidak dikonsultasikan lagi dengan pemerintah atasan. “Dan apabila ada keberatan terhadap pemberlakuan qanun, dapat dilakukan dengan cara Yudisial Review ke Makamah Konstitusi,” kata Jubir Komisi A, Nabhani tegas. [BI]


Publication Majalah Nanggroe Edisi 18 Agustus – 18 September 2008




Timkamda Deklarasi Relawan GAP-SBY

Serambi Indonesia, 25 June 2009, 08:10

BANDA ACEH - Tim kampanye daerah (Timkamda) pasangan capres dan cawapres SBY-Boediono mendeklarasikan berdirinya relawan Aceh Geutanyo Peumunang SBY (GAP-SBY), Rabu (24/6). Organisasi ini bernaung di bawah Timkamda SBY-Boediono yang bertujuan memperjuangankan kemenangan pasangan SBY-Boediono di Aceh.

Deklarasi sekaligus pengukuan kepengurusan GAP-SBY dilakukan oleh Ketua Tim Kamda Aceh, Ir Nova Iriansyah. Kegiatan yang berlangsung di Restoran Lamnyong ini dihadiri ratusan undangan yang terdiri dari kalangan pemuda dan mahasiswa. Dalam kepengurusanya GAP-SBY menempatkan Munzir sebagai koordiator, Bahagia Ishak sebagai sekeretaris, dan Faudi sebagai bendahara.

Saat melantik pada pengurus GAP-SBY, Nova Iriansnyah mengatakan, GAP-SBY diharapkan menjadi ujung tombak bagi kemenangan pasangan SBY-Boediono di Aceh. Keberadaan GAP dinilai punya peran penting untuk menginformasikan sosok pasangan capres/cawapres yang diusung 24 partai koalisi itu kepada masyarakat, terutama kalangan pemuda. “Kita harapkan pilpres di Aceh berjalan demokratis dan jujur. Masyarakat yang mendapat mandat politik sedapat mungkin dapat menyalurkan suaranya dengan baik,” ujarnya.

Sementara itu, Koordianaor GAP-SBY, Munzir mengatakan, komposisi GAP didukung oleh kalangan pemuda, juga termasuk mahasiswa dan beberapa organisasi massa. “Untuk ke depan program GAP-SBY akan kita sesuai dengan kegiatan Timkamda,” ujarnya. Acara deklarasi juga dirangkai dengan orasi politik yang disampaikan Juru Bicara Timkamda Muhammad MTA dan Banta Syahrizal.(Sar)

Warga Pusong Minta Pindah ke Pijay

Serambi Indonesia, 24 Maret 2009.

MEUREUDU - Masyarakat Desa Pusong, Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, meminta kepada pemerintah atasan agar status administrasi desanya dipindahkan ke Lueng Putu, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya. Salah satu alasannya adalah jarak tempuh antara Kecamatan Kembang Tanjong dengan Lueng Putu.

“Usulan pemindahan administrasi pemerintah gampong telah disampaikan kepada wakil Bupati Pidie, Nazir Adam, saat datang ke daerah ini,” ujar Zulkifli M Yahya (45), tokoh masyarakat Pusong, Senin (23/3).

Disebutkan, jumlah penduduk Desa Pusong mencapai 575 jiwa, dengan luas daerah 3.000 m3. Desa itu dikelilingi laut, terpencil, dan jauh dari pusat Kota Kecamatan Kembang Tanjong. Sebelah barat berbatas dengan Kuala Tari, sebelah selatan berbatas dengan tambak Desa Lancok Kecamatan Bandar Baru, sebelah timur berbatas dengan Kuala, sebelah utara berbatas dengan laut Selat Malaka. Gampong Pusong merupakan salah satu daerah yang paling parah terkena tsunami di Pidie.

“Jarak tempuh Pusong ke Kembang Tanjong 20 Km, sedangkan ke Luengputu hanya 7 Km. Anak-anak kami sekolah di Luengputu, hanya ada satu jalan keluar masuk dari dan ke Gampong Pusong ke Luengputu. Sedangkan ke Kembang Tanjong jalannya jauh. Itu pun jarang, hanya untuk keperluan urusan surat menyurat datang Kecamatan,” papar Zulkifli.

Selain itu, sebut Zulkifli, akses jalan menuju Pusong hanya dapat dilalui melalui jalan yang dibangun dengan swadaya masyarakat tahun 2004 lalu. Warga pusong menimbun tambak untuk dijadikan jalan tembus dari Desa Pusong menuju Desa Lancok, dan pusat Kecamatan Luengputu, Kabupaten Pidie Jaya.

“Tidak ada jalan menuju Kembang Tanjong. Akses ke pusat Kecamatan terputus. Sebelum ada jalan dulu, transportasi masyarakat dengan boat. Hingga sekarang, masyarakat lebih mudah berbelanja ke Luengputu. Setiap hari kami pergi ke Luengputu untuk transaksi jual beli. Kami menjual ikan, udang, kepiting, dan hasil tambak ke pasar Bandar Baru,” ujarnya.

Karenanya, tambah Zulkifli, masyarakat Pusong meminta Pemkab Pidie agar mengizinkan desa itu pindah ke abupaten Pidie Jaya. “Kami juga memohon kepada Pemkab Pidie Jaya menerima kami masuk dalam wilayah Luengputu,” demikian pungkas Zulkifli.

Dukungan
Permintaan warga Pusong tersebut mendapat dukungan dari Ikatan Mahasiswa Pemuda Pelajar Pidie Jaya (IMPIJA). Ketua Humas IMPIJA, Bahagia Ishak meminta Pemkab Pidie menerima keinginan warga Pusong untuk pindah administrasi ke Pidie Jaya. Sebaliknya, Pemkab Pidie Jaya juga harus menerima warga Desa Pusong.

Menurutnya, Desa Pusong secara geografi dekat dengan pusat Kecamatan Bandar Baru, dan jauh dari Kembang Tanjong. Buktinya, masyarakat Pusong menjual hasil tangkapan ikannya dan membeli sembako di pasar Luengputu. “Biarlah masyarakat Pusong yang profesinya sebagai nelayan merasakan pembangunan lebih baik dari sebelumnya. Jangan ada lagi daerah terisolir dan terpencil,” demikian Bahagia.(s)