5 Januari 2010, 09:30
Harian Serambi Indonesia (Menanggapi opini Bahagia Ishak)
- ANEH ketika membaca tulisan saudara Bahagia Ishak (BI) yang terkesan berpandangan sangat tendensius terhadap dayah (Serambi, 31 desember 2009). BI yang nimbrung menanggapi Tgk.Mahfudh Muhammad, berkait dialog antara Tgk.HN-HBN, ternyata BI belum memahami substansi persoalannya, sehingga muaranya adalah tuntutannya agar dayah mereformasi metodologi dan kurikulum pengajarannya.
Dialog yang bermula dari opini Tgk HN dan HBN, sebenarnya hanya perselihan pendapat/pemikiran. Dan ini bisa kita pahami sebagai dinamika dalam perjalanan intelektualisme dayah dan kampus di Aceh dari masing-masing pemikiran. Namun, kenapa saudara BI justru tampil menabrak dan menuduh dayah serta ulamanya dengan pontang-panting tak karuan seperti pahlawan kesiangan dalam menanggapi tulisan Tgk.MM? Statemen BI, sungguh mengewakan saya juga mungkin santri dan ulama dayah di Aceh.
Bi menuduh bahwa kecerdasan Abu Panton (Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh) tidak tertular ke dayah-dayah lain di Aceh. Apa pasal dia melecehkan santri dan ulama dayah lain seperti itu? Apakah BI sudah merasa lebih cerdas dalam memahami persoalan agama dibandingkan ulama-ulama dayah? Silahkan saja merasa lebih cerdas, tapi tidak harus memojokkan pihak lain, terlebih lagi yang dipojokkan itu adalah dayah dan ulama. BI juga tidak bijak ketika membandingkan Aceh dengan Negara Barat yang tidak melaksanakan qanun jinayat namun pejabatnya tidak korupsi, padahal negera mereka memang melegalkan praktek perzinaan.
Demikian juga tuduhan bahwa dayah telah mendewakan pemikiran Islam abad pertengahan. Sebenarnya permasalahan peradigma dayah (santri dan ulamanya) dalam melihat posisi ijtihad di era kontemporer telah tuntas dikupas oleh Tgk MM dalam opininya (Serambi, 23/12/2009). Namun karena BI belum memahami akar permasalahannya, mencerna, dan memahaminya maka muncullah statemennya yang salah kaprah. Bahkan menuduh Tgk.MM dan pihak dayah hanya berpikir syari’at syahwat saja serta melupakan syari’at pada tatanan pemerintahan yang saat ini begitu hancur.
Padahal sikap dayah yang telah dipaparkan oleh Tgk.MM telah mencakup semua itu. Antara urusan berpakaian, qanun jinayat maupun tatanan pemerintahan yang hancur seperti terjadinya kasus korupsi. Dayah memandang hal itu bisa dilakukan serentak dengan memakai fikih tadarruj dan awlawiyat (tahapan dan skala prioritas). Sangat zalim tuduhan BI bahwa dayah hanya berbicara tentang syiari’at syahwat saja.
Dayah dan ijtihad
Dayah melalui santri dan ulamanya tidak pernah menutup diri dari pintu ijtihad, dan tidak ada kitab kuning yang melarang ijtihad. Hanya saja dayah memandang bahwa ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Dengan logika yang sehat, hal ini sangat mudah dipahami. Jika pintu ijtihad dibuka selebar-lebarnya maka akan lahir banyak mujtahid yang tidak memilki kapasitas dan kapabilitas, yang cenderung hanya berijtihad berdasarkan nafsu dan logikanya saja (bukan berdasarkan perspektif Alquran dan hadist).
Bagaimana mungkin semua orang bisa be-rijtihad sementara tingkat intelektualitas umat Islam kita ketahui tidak semuanya sanggup memahami dasar hukum Islam(mashaadirul Islam) secara baik. Lalu dalam kasus batasan aurat laki dan perempuan yang sedang didialogkan, apanya yang harus diijtihadkan? Bukankah ulama-ulama kontemporer abad ini juga sepakat dengan ulama klasik mengenai batasan aurat?
Para santri dayah juga tidak pernah memandang kitab kuning sebagai aksioma(kebenaran final). Kasus beberapa santri yang menganggap kitab kuning sebagai kebenaran mutlak saya pikir tidak bisa dijadikan sample. Karena universitas-universitas pun tidak mungkin mampu mengatur tatacara berpikir mahasiswanya sesuai yang dikehendaki.
Bagaimana mungkin BI men-generalkan kasus personal. Tuduhan BI bahwa di dayah telah terjadi “pendokrinan dan penerapan ilmu secara turun-temurun dari guru kepada murid dan tidak boleh membantahnya” juga merupakan suatu tuduhan tanpa dasar yang tidak disertai analisis mendalam yang bisa dipertanggungjawabkan. Pengalaman saya yang pernah menetap di dayah selama delapan tahun membuktikan bahwa tuduhan BI tidak benar dan sangat keliru.
Saudara BI juga terkesan memaksa diri menuntut reformasi metodologi dan kurikulum pendidikan dayah, agar tradisi berpikir para santri dan ulamanya menyamai gaya berpikir mereka yang di universitas. Hal ini pada dasarnya karena ketakutan beliau sebab selama ini dayah masih terus konsisten menghambat berbagai paham-paham yang merusak akidah umat. Saya pikir dayah harus tetap terus berpegang pada paradigmanya selama ini yang terlukis lewat kaidah fiqh, “al-muhafazhah ‘alal qadim asshaalih wal-akhzdu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan tradisi dan budaya yang masih relevan serta bersamaan dengan itu juga melakukan adopsi, kreasi dan inovasi terhadap sesuatu yang dinilai lebih baik. Maka bagi dayah, realitas dunia yang semakin modern dan mengglobal merupakan gejala yang alami (sunatullah).
Terkait persoalan kurikulum pendidikan, tampaknya BI belum pernah melakukan penelitian mendalam. Banyak dayah di Aceh telah lama mengembangkan kurikulumnya atas tuntutan kaidah fiqh. Buktinya beberapa intelektual Islam di Aceh saat ini adalah merupakan alumnus dayah yang mendapatkan ilmu-ilmu dasar keislaman dari dayah. Seperti.Dr.Syahrizal Abbas, MA, Prof.Dr.Muslim Ibrahim,MA, Dr.Muhibbuttabary dan banyak lainnya. Bahkan hampir semua mahasiswa yang saat ini muncul di universitas-universitas agama seperti IAIN adalah alumni dayah. Kemudian, dari sekian banyak mahasiswa yang belajar di luar negeri banyak alumni dayah. Bahkan di Timur Tengah dapat dikatakan 100 persen.
Sikap dayah seperti ini saya pikir sudah tepat. Terbukti selama ini dayah menjadi lembaga pendidikan terdepan yang eksis memperjuangkan syari’at Islam dan membentengi umat dari kerusakan moral dan pemikiran. Eksistensi dayah seperti ini mislanya seperti pengakuan Prof.Dr. Hasbi Amiruddin , MA , bahwa hingga saat ini kelompok yang masih berpegang teguh menjaga komitmennya dalam menjaga aqidah Islam yang benar (ahlus Sunnah wal-Jama’ah) adalah pihak dayah.
Dayah tidak pernah menentang hal-hal yang bersifat kontemporer. Buktinya, sikap para santrinya yang masih konsisten memelihara dan melestarikan nilai-nilai yang relevan dengan nilai-nilai Islam, serta dilain sisi para santri atau dayah secara umum tidak pernah menutup diri dari perkembangan dunia kontemporer yang dinilai lebih baik dengan cara melakukan adopsi, kreasi dan inovasi terhadap sesuatu yang dinilai lebih baik tersebut. Hanya saja ketika hal tersebut sudah berlawanan dengan nilai-nilai Islam seperti JIL atau yang lainnya, maka saya pikir dayah memang harus siap mengcounternya. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memang dituntut agar terus menjadi benteng akidah umat, hal ini wajar saja dilakukan oleh dayah secara kelembagaan maupun santri-santrinya. Dalam kasus JIL ini kami insya Allah akan siap berdialog dengan saudara BI dan pihak-pihak lain yang sependapat dengannya. Wallahu a’lam bisshawab.
* Tgk Teuku Zulkhairi adalah anggota Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), pengajar di Dayah Darul Ihsan Tgk.H.Hasan Kruengkalee, Aceh Besar.
Dialog yang bermula dari opini Tgk HN dan HBN, sebenarnya hanya perselihan pendapat/pemikiran. Dan ini bisa kita pahami sebagai dinamika dalam perjalanan intelektualisme dayah dan kampus di Aceh dari masing-masing pemikiran. Namun, kenapa saudara BI justru tampil menabrak dan menuduh dayah serta ulamanya dengan pontang-panting tak karuan seperti pahlawan kesiangan dalam menanggapi tulisan Tgk.MM? Statemen BI, sungguh mengewakan saya juga mungkin santri dan ulama dayah di Aceh.
Bi menuduh bahwa kecerdasan Abu Panton (Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh) tidak tertular ke dayah-dayah lain di Aceh. Apa pasal dia melecehkan santri dan ulama dayah lain seperti itu? Apakah BI sudah merasa lebih cerdas dalam memahami persoalan agama dibandingkan ulama-ulama dayah? Silahkan saja merasa lebih cerdas, tapi tidak harus memojokkan pihak lain, terlebih lagi yang dipojokkan itu adalah dayah dan ulama. BI juga tidak bijak ketika membandingkan Aceh dengan Negara Barat yang tidak melaksanakan qanun jinayat namun pejabatnya tidak korupsi, padahal negera mereka memang melegalkan praktek perzinaan.
Demikian juga tuduhan bahwa dayah telah mendewakan pemikiran Islam abad pertengahan. Sebenarnya permasalahan peradigma dayah (santri dan ulamanya) dalam melihat posisi ijtihad di era kontemporer telah tuntas dikupas oleh Tgk MM dalam opininya (Serambi, 23/12/2009). Namun karena BI belum memahami akar permasalahannya, mencerna, dan memahaminya maka muncullah statemennya yang salah kaprah. Bahkan menuduh Tgk.MM dan pihak dayah hanya berpikir syari’at syahwat saja serta melupakan syari’at pada tatanan pemerintahan yang saat ini begitu hancur.
Padahal sikap dayah yang telah dipaparkan oleh Tgk.MM telah mencakup semua itu. Antara urusan berpakaian, qanun jinayat maupun tatanan pemerintahan yang hancur seperti terjadinya kasus korupsi. Dayah memandang hal itu bisa dilakukan serentak dengan memakai fikih tadarruj dan awlawiyat (tahapan dan skala prioritas). Sangat zalim tuduhan BI bahwa dayah hanya berbicara tentang syiari’at syahwat saja.
Dayah dan ijtihad
Dayah melalui santri dan ulamanya tidak pernah menutup diri dari pintu ijtihad, dan tidak ada kitab kuning yang melarang ijtihad. Hanya saja dayah memandang bahwa ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Dengan logika yang sehat, hal ini sangat mudah dipahami. Jika pintu ijtihad dibuka selebar-lebarnya maka akan lahir banyak mujtahid yang tidak memilki kapasitas dan kapabilitas, yang cenderung hanya berijtihad berdasarkan nafsu dan logikanya saja (bukan berdasarkan perspektif Alquran dan hadist).
Bagaimana mungkin semua orang bisa be-rijtihad sementara tingkat intelektualitas umat Islam kita ketahui tidak semuanya sanggup memahami dasar hukum Islam(mashaadirul Islam) secara baik. Lalu dalam kasus batasan aurat laki dan perempuan yang sedang didialogkan, apanya yang harus diijtihadkan? Bukankah ulama-ulama kontemporer abad ini juga sepakat dengan ulama klasik mengenai batasan aurat?
Para santri dayah juga tidak pernah memandang kitab kuning sebagai aksioma(kebenaran final). Kasus beberapa santri yang menganggap kitab kuning sebagai kebenaran mutlak saya pikir tidak bisa dijadikan sample. Karena universitas-universitas pun tidak mungkin mampu mengatur tatacara berpikir mahasiswanya sesuai yang dikehendaki.
Bagaimana mungkin BI men-generalkan kasus personal. Tuduhan BI bahwa di dayah telah terjadi “pendokrinan dan penerapan ilmu secara turun-temurun dari guru kepada murid dan tidak boleh membantahnya” juga merupakan suatu tuduhan tanpa dasar yang tidak disertai analisis mendalam yang bisa dipertanggungjawabkan. Pengalaman saya yang pernah menetap di dayah selama delapan tahun membuktikan bahwa tuduhan BI tidak benar dan sangat keliru.
Saudara BI juga terkesan memaksa diri menuntut reformasi metodologi dan kurikulum pendidikan dayah, agar tradisi berpikir para santri dan ulamanya menyamai gaya berpikir mereka yang di universitas. Hal ini pada dasarnya karena ketakutan beliau sebab selama ini dayah masih terus konsisten menghambat berbagai paham-paham yang merusak akidah umat. Saya pikir dayah harus tetap terus berpegang pada paradigmanya selama ini yang terlukis lewat kaidah fiqh, “al-muhafazhah ‘alal qadim asshaalih wal-akhzdu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan tradisi dan budaya yang masih relevan serta bersamaan dengan itu juga melakukan adopsi, kreasi dan inovasi terhadap sesuatu yang dinilai lebih baik. Maka bagi dayah, realitas dunia yang semakin modern dan mengglobal merupakan gejala yang alami (sunatullah).
Terkait persoalan kurikulum pendidikan, tampaknya BI belum pernah melakukan penelitian mendalam. Banyak dayah di Aceh telah lama mengembangkan kurikulumnya atas tuntutan kaidah fiqh. Buktinya beberapa intelektual Islam di Aceh saat ini adalah merupakan alumnus dayah yang mendapatkan ilmu-ilmu dasar keislaman dari dayah. Seperti.Dr.Syahrizal Abbas, MA, Prof.Dr.Muslim Ibrahim,MA, Dr.Muhibbuttabary dan banyak lainnya. Bahkan hampir semua mahasiswa yang saat ini muncul di universitas-universitas agama seperti IAIN adalah alumni dayah. Kemudian, dari sekian banyak mahasiswa yang belajar di luar negeri banyak alumni dayah. Bahkan di Timur Tengah dapat dikatakan 100 persen.
Sikap dayah seperti ini saya pikir sudah tepat. Terbukti selama ini dayah menjadi lembaga pendidikan terdepan yang eksis memperjuangkan syari’at Islam dan membentengi umat dari kerusakan moral dan pemikiran. Eksistensi dayah seperti ini mislanya seperti pengakuan Prof.Dr. Hasbi Amiruddin , MA , bahwa hingga saat ini kelompok yang masih berpegang teguh menjaga komitmennya dalam menjaga aqidah Islam yang benar (ahlus Sunnah wal-Jama’ah) adalah pihak dayah.
Dayah tidak pernah menentang hal-hal yang bersifat kontemporer. Buktinya, sikap para santrinya yang masih konsisten memelihara dan melestarikan nilai-nilai yang relevan dengan nilai-nilai Islam, serta dilain sisi para santri atau dayah secara umum tidak pernah menutup diri dari perkembangan dunia kontemporer yang dinilai lebih baik dengan cara melakukan adopsi, kreasi dan inovasi terhadap sesuatu yang dinilai lebih baik tersebut. Hanya saja ketika hal tersebut sudah berlawanan dengan nilai-nilai Islam seperti JIL atau yang lainnya, maka saya pikir dayah memang harus siap mengcounternya. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memang dituntut agar terus menjadi benteng akidah umat, hal ini wajar saja dilakukan oleh dayah secara kelembagaan maupun santri-santrinya. Dalam kasus JIL ini kami insya Allah akan siap berdialog dengan saudara BI dan pihak-pihak lain yang sependapat dengannya. Wallahu a’lam bisshawab.
* Tgk Teuku Zulkhairi adalah anggota Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), pengajar di Dayah Darul Ihsan Tgk.H.Hasan Kruengkalee, Aceh Besar.
0 komentar:
Posting Komentar