Kamis, 07 Januari 2010

Hak Samlakoe Sambinoe Adat Aceh

Oleh Bahagia Ishak, Opini Harian Aceh Tahun 2007

Peudong Hukom deungon Adat

Kong Adat Adee Raja

Matee Aneuk Meupat Jirat

Gadoh Adat Hanpat Tamita

Baru saja berlalu seminar masyarakat adat Aceh tentang refleksi gerakan masyarakat adat Aceh pada 31 Desember 2007 di gedung AAC Prof. Dayan Dawood Darussalam Banda Aceh. Dari banyak pemateri menyampaikan makalahnya, ada seorang pemateri sangat menarik memaparkan makalah, yaitu Yahya Mu’ad, pemerhati adat Aceh yang telah bertahun-tahun tinggal di Negara Eropa.

Dari mulut pemerhati adat ini keluar kata-kata, “bahwa mambangun adat istiadat Aceh dengan mencontohkan cara kerja tubuh manusia. Dengan hukum mengambil Qanun Meukuta Alam Al-Asji yang mengatur sistem demokrasi atau hak dan kewajiban masyarakat untuk memilih tatacara perundangan di Aceh”.

Yahya Mu’ad, menjelaskan semua kita mengetahui apa kerja tiap-tiap anggota tubuh, seperti tangan, kerja tangan jangan dikerjakan oleh kaki. Dalam tubuh manusia ada ketentuan adat. Adat punya bahagian unit kerja dan departemen-departemen misalnya departemen otak untuk berpikir satu subjek, mata untuk melihat suatu subjek, mulut untuk berkata satu subjek, telinga untuk mendengar satu subjek dan hidung untuk mencium satu sabjek.

Otak adalah objek yang tersembunyi, dimana otak adalah adat dan hati adalah hukum. Setelah hati dengan otak telah mempunyai suatu keputusan sama, maka diambilah keputusan untuk bekerja, misalnya mengambil tas dengan menggunakan tangan, bukan dengan menggunakan kaki.

Dalam melaksanakan kerja ada peraturan yang dibuat, yaitu Qanun. Qanun adalah tambahan adat dengan hukum atau aturan pelaksana adat (otak) dengan hukum (hati). Seumpama ada tubuh manusia membutuhkan kebutuhan lain yang bersifat biologis dan rohaniah. Misalnya Laki-laki membutuhkan kehadiran seorang perempuan disisinya, begitu juga perempuan membutuhkan seorang laki-laki yang mendampinginya. Apabila laki-laki dan perempuan bergabung maka dikatakan gabungan dua orang sehingga menjadi satu keluarga.

Setelah keluarga terbentuk, maka ada suami, istri dan lahirlah anak. Suami (Samlakoe) berkewajiban menjaga dan memberi nafkah untuk istri (Sambinoe). Seperti dalam firman Allah SWT, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisaa’ : 34).

Allah SWT juga mewajibkan atas istri untuk menunaikan hak-hak suaminya, dan mengharuskan melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap rumah dan anak-anaknya, agar kehidupan menjadi harmonis dan keluarga menjadi bahagia.

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Yakni, kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum wanita dalam hal mendidik dan menghukum mereka dalam hal perkara yang diwajibkan atas mereka, baik kepada Allah maupun kepada kaum lelaki.

Konsep pembangunan pemerintahan mukim dari Qanun Meukuta Alam Al-Asji. Bertujuan agar terbangunannya pemahaman publik tentang nilai dan prinsip masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, politik, ekonomi, budaya dan cara penyelesaian konflik. Sampai hari ini konsep-konsep yang telah dipraktekkan pada masa Sultan Iskandar Muda ini telah luntur dan hilang dalam ingatan rakyat Aceh.

Sistem demokrasi atau tatacara memilih dan tatacara melaksanakan pemerintah di Aceh telah ada penyusunannya dalam Undang-Undang kerajaan Aceh, yang di mulai tahun 1630 masa kerajaan Sultan Iskandar Muda dengan melahirkan adat, hukum, qanun dan reusam. Reusam adalah sabjek pendukung reusam atau aturan pelaksana. Adap adalah mengikuti cara bertutur, seumpama mentuakan yang lebih tua dan yang muda diletakkan pada tempat yang patut dan menjalankan peraturan.

Asal qanun meukuta alam al-asji dikatakan pada system demokrasi atau hak dan kewajiban masyarakat untuk memilih tatacara perundangan di Aceh. Dalam hal perkawinan, hukumnya adalah akad nikah, ada calon istri, suami, wali dan ijab qabul nikah. Misalnya Si Ani dan Amat tidur di hotel, maka pihak hotel akan memeriksa mereka dengan menanyakan surat nikah. Apa mereka benar suami istri. Setelah Amat dan Ani menikah, maka akan dilaksanakan kanduri atau peresmian, ini di sebut Qanun. Sedangkan Reusam adalah rumah, dimana reusam tempat bagi kehidupan keluarganya.

Setelah mereka berkeluarga, dikatakanlah penduduk dan memiliki rumah, maka akan terbentuk gampong. Untuk menjadikan sebuah gampong harus ada 40 kepala keluarga atau 40 buah rumah, karena sudah cukup syarat membangun Meunasah dan sudah cukup syarat mendirikan sebuah Masjid dan sudah sah mendirikan shalat Jumat.

Pada masa kerajaan Aceh dulu, Imum Mukim adalah pemimpin adat di gampong-gampong dengan strukturnya adalah Imum Masjid, Geusyik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Peutuwa Meunasah, Keujruen blang, Keujrun Gle, Pawang Laot, Pawang Gle, Peutuwa Seuneubok, Haria Pekan, dan Syahbandar.

Bersatu paling kurang empat gampong sudah cukup membentuk satu mukim. Di mukim ada Majelis Tuha Peut Mukim dan Tuha Lapan. Tuha peut yang membuat kebijakan. Dimana dalam struktur Tuha peut harus ada orang-orang yang mempunyai ; Ahli tauhid, Ahli fiqih, Ahli tasawuf, Ahli mantek dan Ahli ilmu yang lain menurut hukum.

Majelis Tuha Lapan Mukim ada hak dan kewajiban memilih kepala adat atau hukum yang disahkan oleh Mukim. Kepala adat dalam gampong adalah Imum Mukim, akan mengangkat anak buahnya yaitu Keujruen Blang, Keujruen Gle, Pawang Laot.

Dalam gampong adanya penduduk dan Geusyik. Penduduk dalam gampong memilih Geusyik. Geusyik mengangkat wakil-wakil dalam bidang adat dan orang yang mengatur hukum. Masyarakat memilih seorang Peutuwa Meunasah yang bertugas sebagai syiar Agama dan memandikan mayat. Peutuwa Meunasah harus memilih dua orang yang diangkat sebagai petanggung jawab dalam urusan bidang hukum dan syiar agama.

Sedangkan Reusam pada anak muda gampong misalnya Ada satu gampong anak muda belum menikah melakukan khalwat. Yang menangkap adalah anak muda, dibawa kepada Geusyik. Geusyik akan melakukan ke tingkat Tuha Peut. Untuk disidangkan, apabila hal pidana tidak ada kewenangan gampong tapi harus diselesaikan secara hukum.

Pimpinan hukum dalam gampong adalah di pimpin oleh Khatib Masjid, Khatib Mesjid memperkuat struktur adat di gampong dengan mengangkat 3 orang yang bertangung jawab dalam bidang pengajian, bidang kesejahteraan dan bidang keadilan di gampong.

Penulis sendiri telah berkeliling melihat langsung perkembangan Adat Aceh, mulai dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie hingga ke Sabang. Sebagian besar rakyat Aceh kurang peduli terhadap nasib adat istiadat Aceh, ditambah lagi kurang pedulinya pemerintah untuk mengembangkan masyarakat Aceh dalam membangun kemandirian masyarakat menuju pembangunan Aceh baru.

Penulis :

Alumni Mahasiswa Teknik Kimia Unsyiah, Aktivis Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan Sekjen IPMB Lueng Putu.

0 komentar: