Sejak dulu budaya dalam kehidupan masyarakat Aceh telah membentuk tata kehidupan yang kuat oleh ajaran agama Islam. Membangun moral bersama dan berperan mengarahkan kehidupan sesuai dengan nilai-nilai budaya adat luhur dalam kehidupan rakyat Aceh.
Ada dua jenis pemimpin dalam masyarakat Aceh, yakni pemimpin adat dan pemimpin agama. Pemimpin adat terdiri dari Sultan (Pemimpin kerajaan), Panglima Sagoe (Pemimpin Sagoe atau sagi), Uleebalang (Pemimpin Nanggroe) Kepala Mukim (Pemimpin Mukim), dan Geusyik (Pemimpin Gampong). Sedangkan pemimpin agama, yaitu Qhadhi Malikul Adil (pedamping Sultan di bidang agama); Qadhi Panglima Sagoe; Qahdi Uleebalang; Teungku Meunasah.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, disebut Wali Nanggroe sebagai pembina dan perekat masyarakat yang netral. Mampu mempertemukan, mempersatukan masyarakat untuk hidup rukun dan damai.
Lembaga adat adalah organisasi kemasyarakatan adat, dibentuk oleh masyarakat hukum adat. Mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berhak dan berwenang mengatur, mengurus serta menyelesaikan hal-hal berkaitan dengan adat Aceh.
Hukum adat adalah norma-norma, kaedah hukum adat Aceh yang hidup dan berkembang dalam penyelesaian sengketa-sengketa dalam masyarakat. Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan, perbuatan sikap perilaku yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat, bersendikan kepada syariat Islam.
Rancangan qanun Aceh tentang wali nanggroe dipilih dalam musyawarah khusus pemilihan Wali Nanggroe. Dikukuhkan oleh Gubernur selaku Kepala Pemerintah Aceh dalam upacara resmi. Wali Nanggroe sebagai mitra Gubernur, berkedudukan di Ibu kota Provinsi Aceh dan setingkat dengan Gubernur. Dalam menjalankan tugasnya bersifat konsultatif dan koordinatif.
Dijelaskan juga tata cara penghormatan dalam melaksanakan pemberian hormat bagi Wali Nanggroe, Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, Pejabat Pemerintah Aceh dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara kenegaraan atau acara resmi.
Syarat-syarat menjadi wali nanggroe adalah beragama Islam, orang Aceh memahami adat istiadat dan hukum adat, kharismatik, arif dan bijak, berwawasan luas, memahami sejarah dan peradaban Aceh, berusia sekurang-kurangnya 40 tahun, berpendidikan minimal SLTA atau sederajat, sehat jasmani dan rohani, jujur dan adil, tidak pernah dihukum karena melakukan perbuatan tercela walaupun satu kali (satu hari), menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia diumumkan, tidak dalam status pejabat negara atau daerah, pejabat instansi, Dinas dan swasta.
Widodo AS, MenkoPolhukan melalui Sesmenko Polhukam, Romulo Simbolan meminta kepada Pansus IX DPRA, agar disempurnakan beberapa materi qanun, sebelum disusun secara komprehensif. Hal ini terungkap saat pembahasan Qanun Wali Nanggroe dilakukan dalam pertemuan Panitia Khusus Wali Nanggroe (Pansus-XI) DPR Aceh dengan Sesmenko Polhukam, di Jakarta, Senin (21/7). Menyepakati beberapa materi penyusunan Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe agar disempurnakan kembali.
Menko Polhukam meminta lembaga wali nanggroe jangan setara gubernur akan tetapi di bawah gubernur. Item itu segera disempurnakan,” ujar Yusrizal Ibrahim, Sekretaris Pansus-XI DPR Aceh.
Menurut Yusrizal, Menko Polhukam juga meminta penyusunan Qanun Wali Nanggroe yang telah diamanahkan dalam UUPA nomor 11/2006 benar-benar dalam kerangka perundang-undangan yang berlaku, seperti konsiderans yang tertuang dalam qanun nomor 3 tahun 2007 tentang tata cara pembuatan qanun.
Penjaringan pendapat dan saran dengan pihak Menko Polhukam juga menyepakati persoalan yang timbul dalam eksekutif, adat, budaya dan agama dapat dimediasi lembaga wali nanggroe. Penyusunan qanun itu tetap berdasarkan pada UUD, UUPA serta jangan sampai berbenturan dengan peraturan perundangan di Republik Indonesia. “Namun lembaga wali nanggroe bukan juga sebagai lembaga superioritas,” ujar Yusrizal.
Sementara DR. Daoed Yusuf MH, mengatakan lembaga wali nanggroe diharapkan dapat menjadi lembaga kultural dan dihormati oleh pelaku politik serta penguasa di Aceh kelak. Anggota tim ahli dari Universitas Syiah Kuala ikut mendampingi Pansus XI bertemu dengan sejumlah pejabat tinggi di Jakarta.
Pembahasan Qanun Wali Nanggroe yang terdiri dari 18 pasal dan 10 bab kembali dilakukan pembahasan oleh puluhan tokoh warga Aceh di Jakarta dan sekitarnya. Memberikan masukan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (DDPU) di Aula Gedung Graha Bulog Jl Gatot Subroto Jakarta, Rabu (23/7). “Sengaja kami ke Jakarta untuk meminta pendapat atau input-input dari warga Aceh di Jakarta,” sebut Azhari Basyar, anggota DPR Aceh.
T Nasrullah, seorang peserta diskusi mempertanyakan sejumlah pasal yang dianggapnya tidak relevan lagi. Seperti pasal tentang syarat menjadi wali nanggroe tidak pernah dihukum. Menurutnya, pasal ini harus ada kata kecuali seperti yang dihukum karena berkaitan dengan politik.”Kita harus melihat lagi, apakah qanun ini lebih dibutuhkan oleh warga Aceh daripada qanun pembedayaan ekonomi rakyat,” ucapnya serius.
Masa jabatan Wali Nanggroe selama 3 (tiga) tahun, terhitung sejak saat pengukuhan sebagai Wali. Bila telah berakhir masa jabatannya, dapat dipilih kembali hanya untuk masa jabatan kedua kali. Wali Nanggroe dapat memberikan dan atau mencabut gelar-gelar kehormatan dan derajat adat Aceh pada perseorangan atau lembaga-lembaga baik dalam maupun luar negeri. Atas pertimbangan kelayakan karena jasa-jasanya yang luar biasa, atau karena penemuan-penemuan baru memberi manfaat kepada kesejahteraan masyarakat Aceh.
Sementara itu Juru Bicara Komite Peralihan Aceh, Ibrahim KBS menjelaskan, draf qanun ini bukanlah ditujukan untuk Hasan Tiro. Ibrahim yakin, Hasan Tiro bukanlah tipe yang mengharapkan diangkat menjadi wali. Namun patut dicatat, bagaimana selanjutnya yang bisa menjadi wali dengan sejumlah wewenang yang kuat. ”Kita menginginkan status wali itu seperti Yang Dipertuan Agung di Malaysia,” pinta Ibrahim panjang lebar.
Menurut KBS, lembaga Wali Nanggroe adalah sebuah lembaga independen yang bukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lembaga Wali Nanggroe mempunyai fungsi sebagai simbol bagi penyelenggaraan kehidupan adat, hukum adat istiadat, budaya, pemberian gelar/derajah adat serta upacara adat lainnya sesuai dengan budaya adat Aceh dan syariat. Kecuali itu, Lembaga Wali Nanggroe berhak memberikan kehormatan, gelar/derajat adat kepada perorangan atau lembaga baik dalam maupun luar negeri.
Lain lagi komentar M Adli Abdullah, Sekretaris Jenderal Panglima Laot Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengatakan Lembaga Hukum Adat Laot Aceh berada di bawah kelembagaan Wali Nanggroe lembaga adat tertinggi di Aceh, ucapnya beberapa waktu lalu di Sabang.
M Adli Abdullah mengatakan ada 11 lembaga adat yang diakui dan tunduk pada Wali Nanggroe. Kita sudah siap perangkat hukum dan sistem kelembagaan Panglima Laot. Kedudukan itu ditetapkan sesuai dengan Undang-undang Pemeritahan Aceh (UUPA) No 11/2006 yang disahkan pada 11 Juli 2006.
Adli menambahkan, lembaga adat seperti Majelis Adat Aceh, Panglima Uteun (hukum adat hutan), Keujruen Blang (sawah) dan lain-lain yang diakui keberadaannya oleh UUPA ini semakin penting untuk melaksanakan kegiatan seperti pada masa kerajaan Aceh.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Unsyiah Banda Aceh itu menjelaskan, lembaga Panglima Laot sudah berdiri sejak Sultan Iskandar Muda. Menurutnya, sejak Panglima Laot aktif kembali, masalah-masalah sesama nelayan dapat diselesaikan oleh perangkat Panglima Laot dari kota hingga ke lhok atau kecamatan.
Berdasarkan UUPA, Wali Nanggroe memiliki lembaga adat otonom yang tunduk kepadanya. Namun hingga kini, belum ditetapkan siapa yang menjadi Wali Nanggroe pertama di Aceh.
Sementara itu, Nabhani Komisi A DPRD NAD yang membahas bidang Pemerintahan dan Politik, mengusulkan masa jabatan Wali Nanggroe cukup dua tahun. Wali Nanggroe dipilih oleh tuha-tuha Nanggroe yang mewakili masing-masing Kabupaten/Kota, disepakati secara bergilir untuk menjabat Wali Nanggroe Provinsi. Sedangkan pengangkatan dan pelantikannya dilakukan oleh presiden dan atau pejabat lain yang ditunjuk.
Kewenangan Wali Nanggroe itu meliputi agama, adat istiadat, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan. Wali Nanggroe sebagai simbol pemersatu ummat di Nanggroe Aceh Darussalam. Kedudukan Wali Nanggroe itu di ibukota Provinsi, dan kedudukan, harkat serta martabat Wali Nanggroe diatur lebih lanjut dalam Qanun.
Qanun yang disampaikan Komisi A dalam rekomendasinya bersifat final, tidak dikonsultasikan lagi dengan pemerintah atasan. “Dan apabila ada keberatan terhadap pemberlakuan qanun, dapat dilakukan dengan cara Yudisial Review ke Makamah Konstitusi,” kata Jubir Komisi A, Nabhani tegas. [BI]
Publication Majalah Nanggroe Edisi 18 Agustus – 18 September 2008
0 komentar:
Posting Komentar