[ penulis: Dr. Ir. Izarul Machdar, M. Eng | topik: Kesehatan ]
BAHWA dari 100 sanitasi landfill yang dibangun di Indonesia, 150-nya tidak dapat dipakai alias gagal,” ungkap salah seorang pembicara pada acara workshop tentang “Waste Management and Inter Regional Coorporation” di Anjong Mon Mata (14 – 15 Februari 2008), lalu. Walaupun pernyataan itu seperti kalimat hiperbolik-tak-rasional, namun makna bahwa fenomena ini benar adanya. Sampai saat ini dari hampir 400 TPA (Tempat Pengolahan Akhir sampah) di Indonesia, tak satupun yang benar-benar menerapkan prosedur kerja Sanitasi landfill
Sebagai lokasi pengolahan (bukan penimbunan) sampah yang berdampak besar terhadap lingkungan sekitar, lokasi TPA memerlukan kriteria tersendiri. Sebuah lokasi tidak afdal dijadikan TPA kalau jarak terhadap air permukaan (sungai atau danau) kurang dari 150 meter. TPA tidak direkomendasikan berada dalam daerah banjir besar 25 tahunan atau kurang, serta berada di dalam zona sesar aktif kurang dari 100 meter. Walaupun secara teknologi tersedia, TPA lebih baik tidak berada di daerah pasang surut atau kurang dari 500 meter dari bibir pantai. Dengan pertimbangan nilai estetika, TPA sebaiknya tidak berada di dalam daerah pemukiman yang telah ada, dekat dengan jalan utama, apalagi dekat dengan kawasan wisata. Yang penting juga diperhatikan bahwa jarak minimum TPA dari lapangan terbang adalah tiga kilometer. Karena TPA terdiri dari sel-sel pengolahan sampah, diusahakan berada pada tanah dengan kemiringan nol hingga lima derajat
Landfill adalah lokasi yang digunakan sebagai tempat penimbunan limbah padat di permukaan tanah. Sebelumnya istilah Sanitasi landfill digunakan untuk menyatakan landfill yang menggunakan tanah sebagai penutup sampah yang ditimbun setiap harinya. Tapi sekarang sanitasi landfill menggambarkan suatu fasilitas yang digunakan sebagai tempat pengolahan sampah yang didesain dan dioperasikan untuk meminimalkan limbah padat dan mengurangi resiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Mengapa tempat pengolahan sampah harus mengikuti kaedah sanitasi? Sampah yang terdiri dari bahan organik dan non-organik apabila diuraikan oleh mikroba akan menghasilkan gas, cairan dan sisa proses. Produk peruraian sampah ini harus dilokalisir agar tidak mencemari lingkungan dan mempengaruhi kesehatan manusia di sekitarnya. Untuk melokalisir gas dan cairan ini, TPA didesain harus kedap di bawahnya dengan menggunakan lapisan khusus (geotekstil atau geomembran) atau memakai lapisan tanah liat.
Gas dari peruraian anaerobik (umumnya terdiri dari metana, senyawa-senyawa merkaptan, karbon dioksida, hidrogen sulfida) harus dikumpulkan dan diproses lebih lanjut, biasanya cukup dengan pembakaran dengan sistem flare (mirip seperti PT. Arun membakar gas-gas sisa proses). Kalau tidak, gas yang cukup menyengat hidung ini akan mengundang lalat dan mengganggu estetika di sekitar lokasi TPA. Gas metana secara serius harus dimonitor, karena gas ini dapat meledak apabila bereaksi dengan oksigen di udara pada keadaan tertentu. Hal ini apa yang terjadi di TPA Leuwigajah di Bandung beberapa waktu yang lalu. Cairan pekat dari TPA yang berbahaya terhadap lingkungan dikenal dengan istilah leachate atau air lindi. Cairan ini berasal dari proses perkolasi (umumnya dari air hujan yang masuk ke dalam tumpukan sampah) sehingga bahan-bahan terlarut dari sampah akan terekstraksi. Cairan ini harus diolah dalam suatu unit pengolahan aerobik atau anaerobik sebelum dibuang ke lingkungan. Tingginya kadar COD dan ammonia pada air lindi (bisa mencapai ribuan mg/L), sehingga pengolahan limbah tidak boleh dilakukan sembarangan. Untuk maksud mengumpulkan gas metana, biasanya lindi disirkulasi kembali ke dalam TPA agar laju produksi gas landfill lebih besar.
Permasalahan sanitasi landfill
Sangat tidak tepat mengatakan Kota Banda Aceh belum pernah memiliki sistem sanitasi landfill untuk mengolah sampah. Melihat dokumen Detail Engineering Design (DED) TPA Kampung Jawa, Banda Aceh (Nomor K.U 08.09-CI/P3PLP03/371/94-95 tertanggal 12 September 1994) segala aspek sanitasi landfill yang dipaparkan di atas seluruhnya tercakup di dalam dokumen tersebut. Tempat pembuangan akhir sampah (istilah pada dokumen tersebut pada saat itu) di Kampung Jawa yang Sanitasi dijadikan salah satu kriteria pendukung mengapa Banda Aceh mendapat penghargaan Adipura pada saat itu. Jelas di sini tidak mungkin kalau sistem open dumping yang dipakai saat itu.
Membuka dokumen tersebut lebih lanjut terpapar bahwa lokasi yang dipakai hingga saat ini masih berada di dalam zona area-1 dari 3 zona rencana (jadi masih 30 persen dari target perencanaan). Seluruh area dilapisi dengan clay liner setinggi 60 cm untuk mendapatkan koefisien permeability lebih kecil dari pangkat minus 7 cm/detik, sedangkan untuk area dekat tambak bahkan digunakan liner setebal 120 cm. Terdapat lebih dari 20 pipa ventilasi, 5 bak pengontrol, serta 4 kolam pengolahan lindi. Dijelaskan selanjutnya bahwa tanah penutup harian sampah dipasok dari Mata Ie dan Ujong Bate. Mekanisme pengoperasian dan perawatan (pengelolaan) sangat jelas dipaparkan.
Sekarang jadi pertanyaan, mengapa TPA Kampung Jawa seolah gagal dalam pelaksanaannya (lihat kejadian tahun 2002 ketika terjadi kebocoran lindi yang mencemari tambak rakyat). Apakah salah prosedur atau ada masalah lainnya. Sebelum kita kesana mari kita tengok beberapa ilustrasi di bawah ini.
Kembali ke TPA Kampung Jawa, saya secara pribadi mengetahui betapa komitmen pimpinan dan staf DKP Banda Aceh sebelum tsunami perlu acung seluruh jari, tidak hanya jempol. Daya juang pekerja kebersihan sangat tinggi walaupun dengan fasilitas minimal. Tapi mengapa skenario DED tak dapat dijalankan? Menurut analisis saya, pada saat itu biaya tanah penutup harian (yang harus diambil dari Mata Ie atau Ujong Bate) tidak dapat dipenuhi oleh Pemda karena memang prioritas pengelolaan sampah berada pada rangking ke sekian. Selanjutnya mekanisme pungutan retribusi yang tidak jelas antara DKP dan Dinas Pendapatan Daerah (Perda No. 3 Tahun 1990) yang menyebabkan kurang efisiennya pemanfaatan retribusi yang langsung dapat dipakai untuk pengelolaan sampah. Akibatnya sampah hanya ditumpuk dan TPA Kampung Jawa akhirnya menjadi open dumping. Monitoring gas dan lindi tidak dapat dilakukan secara periodik, karena di samping fasilitas laboratorium dan biaya analisis sama sekali tidak ada, ditambah lagi banyak pipa pengumpul lindi dan saluran penangkap gas yang rusak. Sampai akhirnya dihantam tsunami 2004, TPA Kampung Jawa apa yang kita lihat sekarang ini.
Pentingnya perencanaan TPA
Ibarat kuman di seberang pulau tampak, jengkol di pangkal hidung tak terasa. Tak perlu harus ke benua Eropa sana hanya untuk study banding pengelolaan sampah domestik. Dengan model budaya melayu kita dalam melihat sampah, sejarah perencanaan dan pembelajaran pengelolaan TPA Kampung Jawa sudah cukup menjadi referensi utama pelaksanaan Integrated Sanitasi landfill (Sanitasi landfill Terpadu) yang akan dibangun di Desa Data Makmur, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. Dengan biaya begitu fantastik dari multi donor untuk mewujudkannya, yang katanya satu-satunya di Indonesia (mudah-mudah tidak berakhir seperti Tower Air Taman Sari), diperlukan perencanaan pengelolaan yang betul-betul sempurna. Kalau perlu lakukan simulasi sehingga faktor mis-management dapat diantisipasi sejak dini.
Berpedoman pada pengelolaan TPA Kampung Jawa, aturan main (Perda) retribusi sampah harus dirancang khusus. Lagi pula Sanitasi landfill terpadu ini berada di kawasan Kabupaten Aceh Besar sedangkan sumber sampah banyak berasal dari Kota Banda Aceh. Dengan mengabaikan sementara rencana program insentif CDM (Clean Development Mechanism), analisis sumber biaya dan rencana aturan main pengelolaan harus dilakukan sedini mungkin. Tapi perlu diantisipasi biasanya terlalu kaku dalam aturan sering menyebabkan proses pengelolaan tidak suskses. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa tidak seorangpun menginginkan sampah, tetapi sampah tidak tertangani hanya dengan peraturan di atas kertas. Perlu dirancang suatu manajemen praktis tetapi tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Dalam hal ini bolehlah kita bercermin ke Malaysia (tidak perlu Jerman atau Jepang) karena akar budaya sama, bagaimana mengajak partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Apa yang benar-benar pertama sekali harus dilakukan dari lingkaran setan pengelolaan sampah ini.
Untuk semua ini dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk mengatasi, tak hanya dari panitia pelaksana pembangunan TPA terpadu saja. Dengan kata lain jangan ada satu pihakpun yang tak setuju. Budaya masyarakat seperti membuang sampah sembarang harus dihilangkan, tentunya dengan melengkapi tempat-tempat pengumpulan sampah yang mudah terakses. Keterlibatan pihak swasta juga perlu didukung. Kesimpulan dari semua ini, dukungan anggaran yang memadai menjadi kunci keberhasilan pengelolaan sampah. Kita berharap, TPA terpadu di Desa Data Makmur bukan menjadi salah satu TPA yang gagal di kemudian hari. Momen seperti ini tak akan pernah terulang lagi. [sumber. Hr. Serambi Indonesia]
*) Penulis adalah Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Unsyiah.
Apa Kabar Jalan Layang Pidie Jaya
-
Oleh. Bahagia Ishak
Ratusan tiang pancang yang dibuat dari beton bertulang berdiri kekar di
lahan bekas sawah gampong Cot Trieng Kecamatan Meureudu Kabupat...
14 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar