Sabtu, 26 Desember 2009

Toke Kacang

Perubahan itu terlalu cepat terjadi, Ismail, anak muda kulit hitam manis sangat cerdik melihat perkembangan negerinya. Selalu punya argument bertentangan dengan pemerintah, saban pagi setelah membaca koran, mulutnya tidak pernah basi mengkritik kebijakan pemerintah. “Uang itu bukan lari kepada Rakyat, uang hanya di nikmati oleh aparat yang semestinya melindungi rakyat”, kata-kata begitu saja keluar dari mulut Ismail terhadap penguasa Negerinya.

Rakyat tidak ada keuntungan apa-apa, seperti hasil hutan di Aceh yang semestinya diterima oleh rakyat, kayu Aceh untuk Aceh yang benar, kayu Aceh tetap dipakai di Aceh, tidak boleh dibawa keluar. Itu tidak realistis, para penebang kayu tidak perlu lagi menyosok aparat penegak hukum. Seharunya uang itu diberikan untuk memperbaiki kehidupan rakyat miskin, perekonomian tidak berkembang, di barat selatan ada gampong rakyatnya kelaparan, terisolir dan terpencil. Negeri bekas konflik telah menyisakan keniscayaan bisu, kemewahan terjadi di atas kemiskinan rakyat.

Ismail, sering mendegar keluh kesah rakyat kecil di kampong yang disinggahinya, berani menampung aspirasi rakyat dengan konsep pro-rakyat yang didengung-dengungkannya. Bersama Pak Waramli, kawannya masuk kampung, sampai tinggal di rumah penduduk berminggu-minggu. Ismail berhasil mengumpulkan massa di bawa ke kota untuk demo pemerintah. Kisah lama sekitar tiga tahun lalu, datanglah ribuan masyarakat gampong ke Ibu Kota Provinsi menuntut keadilan dari Pemerintah.

Rakyat meminta di beri hak-haknya, datang menjumpai penguasa negeri dengan beberapa tuntutan; penuntasan kemiskinan, penyedian lapangan kerja dan pemerataan pembangunan.

Sosok Ismail berubah, lain dulu lain sekarang. Setelah bekeluarga, meninggalkan semua aktivitas yang tidak jelas gajinya. Sekarang Ismail telah mendapatkan tempat kerja berpenghasilan tetap. Dia tidak pikir lagi melakukan mobilisasi massa ke kota, waktunya Ia habiskan dengan rajin bekerja demi keluarga tercinta.

Sebelum mendapatkan kerja tetap, banyak profesi kerja ditekuninya. Macam-macam ilmu telah berhasil dipelajarinya, ilmu cakologi sampai ilmu dagang. Profesi sampingan lagi digeluti menjadikan home indutry di rumahnya. Rumah mungil disulap menjadi pabrik kacang mette, kacang manis yang telah menjadi andalan kedua pendapatannya.
Bermodal uang Rp 155 ribu, bulan Maret lalu berani membuka usaha dagang Kacang Mette, labanya tidak pernah diambil, uangnya diputar lagi dengan membeli kacang mette jadi. “Modal awal usaha ini hanya 10 kg”, sambil memperlihatkan kacang hasil kemasan yang telah diberi merknya kepada Pak Waramli.

Usahanya berkembang, sekarang omsetnya menjadi Rp 5 juta, kacang mette hasil kemasnyapun meningkat pesat menjadi 150 kg. Kemana-mana dalam tas ransel kecilnya ada stok kacang mette, sambil promosi sama kawan terangnya. Bisnis kecil-kecilan menitip kacang di warung dan supertmaket di sekitar kampungnya telah berkembang. “Aku lihat Singapura maju dengan dangangnya, kenapa mereka bisa maju, kita juga bisa ambil contoh dari negara Singa itu”, ucapnya semangat sambil mengepres bungkusan kacang seharga Rp 1000 didepan Pak Waramli.[]

0 komentar: