Kamis, 31 Desember 2009

Politek Apoh Apah

Cut Lem terus memantau perkembangan Politek Aceh, hasrat dan nafsu politeknya belum tersalurkan. Ia teringat pada sahabat karibnya, yang setia mendengar argument politeknya.

Tidak buang-buang waktu, Cut Lem langsung membuat janji dengan Ampon di warkop gampongnya untuk bincang-bincang Politek. Cut bercerita kepada Ampon, ka apoh-apah ureung meuparte kali nyeo. Coba kaloen, lupah that gura ka sampe uroe yoe golom na saboh hasil yang pasti nasib panitia pengawas pesta demokrasi di Aceh. Lheuh bak rimueng meukumat bak babah buya.

Begitulah nasib anggota Panwaslu yang ditetapkan tanggal 9 Juni 2009 lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) belum dilantik belum juga menerima SK dari Banwaslu.

Han abeh-abeh persoalan, saat semua kebutuhan Aceh berurusan dengan Jakarta, pembentukan Panwaslu sampai hari ini belum ada titik kejelasan pasti.

Ampon berpirasat ada yang tidak senang dengan hadirnya Panwaslu di Aceh. Benar juga itu Ampon ucap Cut Lem. Tahun depan pemilu Aceh tidak ada yang mengawasi. Hancurlah kita terang Ampon, bakal ada beurutoeh bude lom dalam lungkiek gampong Lon. Jika hal semacam ini terjadi lagi, apa boleh buat Ampon.

Cut Lem sangat berharap kepada peserta Pemilu di Aceh, yakni Parlok dan parnas mempunyai satu tujuan yaitu pemilu damai, mempertahankan dan melestaraikan perdamaian Aceh.

Tanyoe lagi di peu adu meuprang politek sesama Aceh. Beda bendera hana masalah Cut Lem, yang penting pemilu tahun depan berjalan Langsung Umum Bebas dan Rahasia (Luber) seperti diajarkan oleh Ibu Tie, waktu kita sekolah dulu. Sehingga menghasilkan pemimpin bagi Rakyat Aceh.

Belum dilantiknya Panwaslu, imbas langsung terhadap tahapan pelaksanaan pemilu di Aceh. Tidak ada yang mengawasi, jika ada parte menyalahgunakan aturan dalam mekanisme kampaye tidak ada yang memberi sanksi dan teguran.
Cut Lem memberi contoh ada Parte telah memanfaatkan Masjid, Meunasah dan Musalla untuk melakukan kampaye kepada masyarakat. Apa ini namanya Ampon.

Para politikus awai tat meucang dalam gampong, abeh toen tinggal tem. Cang saboh jadi sierutoeh, dicang, dijual logo dan nomor parte dalam gampong aku Cut Lem.

Anggota Panwaslu telah terpilih, tinggal di Lantik Bawaslu. Ya begitulah, urusan dengan Jakarta tetap di peu susah kata Cut Lem. Soe kawal pemilu Aceh tahun depan, tanya Ampon. “Kita kawal saja biar ada penghasilan tambahan,” jawab Cut Lem dengan tertawa.

Lima anggota Panwaslu yang dipermasalahkan itu ditetapkan oleh anggota dewan sudah sesuai dengan ketentuan pasal 60 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Coba engkau lihat statemen dikeluarkan Bawaslu, pembentukan Panwaslu Aceh berdasarkan pada UU No 22 Tahun 2007 yang berlaku secara nasional, dengan ketentuan antara lain minimal berusia 35 tahun, berjumlah tiga orang dan direkrut oleh KPU (KIP).

Sementara menurut kajian Komisi A DPRA, UUPA juga memberi tugas dan wewenang mengawasi pemilu legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden seperti tertera dalam pada Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No 11/2006, berbunyi, “melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.”
Cut Lem teringat kampaye dulu. Ada parte menempel umbul-umbulnya di Unsyiah, kampus jantong hate rakyat Aceh. Areal umum seperti tempat pendidikan, rumah ibadah, kantor pemerintah tidak dibenarkan menempel dan memasang pesan-pesan politek.

Setiap anak bangsa, mendapatkan porsi sama melibatkan diri dalam kancah politek. Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah adanya parlok di Aceh, merupakan peluang untuk menggali potensi lokal, situasi ini harus dimanfaatkan oleh partai lokal merebut suara rakyat Aceh dalam pemilu 2009 mendatang walaupun tidak ada pengawal pemilu.[Bahagia Ishak]

0 komentar: