Kamis, 31 Desember 2009

Parté Lokal vs Nasional êkkaru?

Oleh Bahagia Ishak

Menyambung tulisan saya tentang parté lokal meunyakni that edisi Kamis (28/2) di Harian Aceh. Ada kawan, Syibah Asfa, berdiskusi di Solong, tentang perkembangan partai lokal dan Nasional di Aceh dan Indonesia. Syibah mengatakan mendapatkan replay email tulisan itu dari Otto Syamsuddin Ishak, katanya tulisan itu fenomena baru perkembangan politik Aceh saat ini.

Keberadaan partai lokal bukan sesuatu yang baru di Indonesia, setidaknya pada Pemilu tahun 1955 tercatat sedikitnya ada enam partai politik lokal yang berpartisipasi, yakni Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Partai Tani Indonesia, Gerakan Banteng, dan Partai Persatuan Daya.

Sangat menarik ada dari partai politik lokal tersebut dipercaya oleh rakyat Indonesia, dengan menjeblos salah satu parlok, terbukti pada saat itu mendapatkan kursi di parlemen nasional, yakni Partai Persatuan Daya.

Dalam ruang lingkup Aceh, hadirnya partai politik di Aceh, sangat berarti bagi Aceh, sehingga daerah lain ingin juga melahirkan partai lokal. Artinya partai lokal Aceh akan mendorong perkembangan partai politik lokal di banyak daerah di Indonesia. Jika ini terjadi, langkah strategis telah di ambil oleh pengambil kebijakan, bagi penguatan eksistensi daerah terhadap pusat, ujungnya akan makin membangun kaitan tali-temali politik berkesinambungan antara kepentingan politik pusat dan daerah.

Selama 32 tahun hanya 3 partai politik berkuasa di Indonesia, yaitu Golkar, PPP dan PDI. Ketiga partai ini mempunyai basis kekuatan yang kuat di daerah. Pasca reformasi, seiringin dengan hadirnya angin perubahan di Indonesia, menjadikan Negara Indonesia berubah dalam peta demokrasi, dengan hadirnya 48 partai politik. Sangat berbeda dengan peta politik tahun 2009 nanti, sudah ada 110 partai nasional menyatakan siap bertempur mempermainkan peran dalam percaturan politik Nasional.

Pemilu tahun 2004 lalu, ada banyak partai tumbuh menyumbul memperkeruh suasana politik. Khususnya di Aceh, tak kala pemilu tahun 2009 datang, rakyat Aceh merasa ada kesan kurang menarik dengan hadirnya partai baru di Aceh, adalah partai Nasional kelokal-lokalan, dan partai lokal menasional-nasionalkan.
Selanjutnya dengan hadirnya parté lokal, adanya trauma politik menghinggapi pemerintah, yang akan mengarah kepada upaya pergerakan tuntutan untuk merdeka, dan memisahkan diri dari NKRI. Trauma politik ini berimplikasi kepada kurang responnya pemerintah dalam melihat esensi dari pembangunan politik lokal, dengan mengedepankan mekanisme kontestasi bagi masyarakat.

Padahal sebaik apa pun system pemerintah seorang pemimpin bangsa, masa pemerintahannya diuji dengan sistem yang mampu membangun bangsa. Negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan criminal.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).

Lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, DPR yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

Permasalahan sering timbul dalam sebuah lembaga, seperti parpol menghadapi masalah internal, di mana kuatnya relasi patron-klien dalam struktur kepartaian. Konstituen hanya untuk mobilisasi, bukan partisipasi. Massa hanya diperlukan ketika kampanye pemilu, setelah itu komunikasi terputus. Permasalahan kedua, faktor yang berkaitan dengan eksternal yaitu pada struktur pengaturan dan politik hukum yang mengatur sistem kepartaian maupun sistem pemilu. Adanya pengaturan azas, landasan, tujuan partai yang membingungkan.

Dari kesimpulan awal ini mengindikasikan, organisasi parpol yang bersifat nasional dan sistem hukum yang mengaturnya memiliki beberapa masalah. Tetapi, bila solusinya adalah memperkenankan parlok maka akan menambah masalah atau membuka peluang bagi muculnya alternatif saluran politik. Karenanya harus dipertimbangkan secara matang kehadiran parlok. Sistem partai sentralistik terkadang tidak mampu menjawab kebutuhan pada tingkat lokal, semua mesti menunggu keputusan pengurus di atasnya dan akhirnya tidak responsif.
Parlok juga dapat menjadi tantangan bagi partai nasional untuk memperbaiki diri, akan ada perang politik antara partai lokal dengan partai nasional, hal ini akan terjadi perebutan lahan suara kekuasaan dalam tataran hidup rakyat Aceh. Walaupun hegemoni politik bisa saja berpindah dari pusat ke daerah, tetapi setidaknya kontrol publik lebih mungkin dilakukan.

Sebagai sebuah konsep, gagasan tentang parlok setidaknya tidak dimatikan. Justru harus didorong dan bersamaan dengan itu aktor prodemokrasi menyiapkan diri, benar-benar mengakomodasi parlok. Maka, aktor prodemokrasi bisa menyiapkan atmosfir politik yang berbeda pada tiap lokal. Di antaranya, memberikan pendidikan politik bagi rakyat agar melek politik. Menjaga demokrasi untuk tidak kembali dibajak atau dibelokan oleh aktor dominan maupun oportunis yang terus berpetualang di berbagai partai.

Jika rakyat Aceh apatis terhadap partai, maka partai lokal dan partai nasional dinilai kurang mendapat dukungan dari masyarakat Aceh. Walaupun hari ini, kekuatan partai lokal tetap berpihak ke Partai Aceh. Kenapa penulis berani beragumen macam ini, melihat perkembangan dan kondisi rakyat Aceh yang ingin menuntut perubahan, sebab partai politik yang ada dulu, dinilai tidak membawa aspirasi rakyat Aceh.

Telah jadi anggota dewan, bukan mensejahterakan rakyat, akhirnya menuntut macam-macam, hingga memecahbelahkan Aceh. Jika dinilai dengan bijak, maka partai lokal dalam konteks Aceh menjadi salah satu alternatif pemecahan kebuntuan politik perihal pembangunan dan penguatan politik dan potensi lokal.

Akan tetapi bila ditilik dari tingkat partisipasi politik masyarakat Aceh, kurang terlibat aktif dan menjadi tidak menarik ikut pemilu. Maka akan terjadi fase demokrasi transisi lagi, dimana Parté lokal vs partai nasional êkkaru? Maka akan ada perang politik dingin, imbasnya partisipasi politik masyarakat kurang terlibat dalam sirkulasi dan regulasi politik, akibatnya lingkaran elit politik Parté lokal dan Partai Nasional mengambil kesempatan. Supaya rakyat Aceh memilih partainya dalam pemilu Aceh tahun 2009 ini.

0 komentar: