Sabtu, 26 Desember 2009

Ulama Aceh Muhammad `Ali Pulo Pueb

Disertasi Erawadi, Doktor dalam Bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menuliskan pada periode abad 18 dan 19 ada ulama Aceh menghasilkan karya tulisnya dibaca dan dipelajari orang sampai abad ini. Ulama terkemuka dilihat dari sisi tradisi keilmuan, ada 5 (lima) orang ulama yang kepakaran dan karyanya mempunyai nilai tersendiri dibandingkan dengan ulama dan karya-karya lainnya. Mereka adalah Jalaluddin al-Tursani, Muhammad Zayn al-Asyi, Muhammad al-Langgini (Teungku Chik Di Simpang), Abbas al-Asyi (Teungku Chik Kuta Karang, w. 1895 M), dan Ismail al-Asyi.

Muhammad al-Langgini, nama lengkapnya Muhammad ibn Ahmad Khatib al-Langgini, terkenal dengan Teungku Chik di Simpang, adalah pengarang kitab Dawa>’ al-Qulu>b min al-‘Uyu>b, dan Mi’raj al-Sa>liki>n ila> Martabat al-Wasaliyyin bi Ja>h Sayyid al-‘An. Ia lahir di Langgien, Luengputu, Pidie Jaya, dan hidup pada zaman pemerintahan Sultan Alaidin Sulaiman Ali Iskandar Syah (1251-1273 H/1836-1857 M) hingga Sultan Alaidin Mahmud Syah (1286-1290 H/1870-1874 M).

Al-Langgini adalah seorang ahli tasawuf, dan penegas ajaran neo-sufisme Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Fansuri. Berdasarkan hasil karyanya, yaitu Dawa>’ al-Qulu>b dan Mi’raj al-Sa>liki>n, ia dapat digolongkan ke dalam penganut ajaran tasawuf Amali yang mengikuti ajaran Ahl Sunnah wa al-Jama>’ah dan bermazhab Syafi’i. Ia dapat juga dijadikan sebagai representatif ulama tasawuf independen abad XIX.

Jalaluddin al-Tursani mempunyai kepakaran dalam bidang Hukum Pemerintahan dan Tata Negara, Muhamamad Zayn bidang Hukum Syari’ah dan Teologi, Muhammad al-Langgini dalam bidang tasawuf, Abbas al-Asyi dalam bidang ilmu pengetahuan umum, seperti kedokteran (al-thibb), teknik (al-handasah) dan astronomi (al-falakiyyah), dan Ismail al-Asyi dalam bidang editing (penyuntingan buku).

Salah seorang murid dari Faqih Jalaluddin tentunya adalah Muhammad Zayn, anaknya, yang menguasai tidak hanya ilmu fikih, tetapi juga teologi dan tasawuf. Dalam bidang fikih ia mengarang kitab Talkhi>sh al-Fala>h}, dan Kasyf al-Kira>m, sementara dalam bidang tasawuf dan teologi ia menyusun kitab Bida>yat al-Hida>yah. Setelah belajar pada ayahnya (Faqih Jalaluddin) dasar-dasar agama, Muhammad Zayn kemudian belajar di Mekah. Di antara gurunya adalah Syeikh Muhammad Said, Syeikh Abdul Ghani ibn Muhammad Hilal, Syeikh Ahmad al-Farsi (ulama kelahiran Mesir) dan Syeikh Ahmad Durrah (juga ulama kelahiran Mesir).

Selain murid-murid tersebut, sebagaimana disebut sebelumnya, Abdurrauf juga mempunyai murid lain dalam tarekat Qadiriyyah, dan juga Syattariyyah, yaitu Abdul Lathif. Disebutkan bahwa Abdul Lathif menerima tarekat Qadiriyyah dari Abdurrauf, yang menerimanya dari Ahmad al-Qusyasyi, Muhammad Baqi, Abd al-Qadir al-Jailani, Zayn al-’Abidin, ’Ali ibn Abi Thalib, Nabi Muhammad, Jibril, dan Allah Swt. Sementara dalam naskah silsilah zikir Syattariyyah.

Naskah koleksi pribadi Syahrial, Banda Aceh, menjelaskan Naskah tersebut berupa zikir Syattariyyah kepunyaan murid Muhammad Ali ibn Abdul Wahid (namanya tidak diketahui). Di dalamnya disebutkan sejumlah nama yang masuk dalam silsilah zikir Syattariyyah, dimana pahala zikirnya pertama disampaikan kepada Nabi Muhammad, kemudian kepada para sahabatnya (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan, Husein, Fatimah, Khadijah, Aisyah, Hamzah, Abbas, Muhajirin, Anshar, dan sahabat lainnya semuanya), lalu kepada para guru Syattariyyah yang silsilahnya berhubung dengan Nabi Muhammad, termasuk kepada Abdul Latif ibn Abdullah (yang disebutnya syaikhuna), lalu kepada Muhammad Sa’id ibn Abdul Wahid, yang disebutnya syaikhi (guruku).

Murid Muhammad Ali ibn Abdul Wahid (namanya tidak diketahui), disebutkan nama-nama silsilah zikir Syattariyyah, di antaranya Abdul Lathif ibn Abdullah (yang disebutnya syaikhuna), lalu Muhammad Sa’id ibn Abdul Wahid, yang disebutnya syaikhi (guruku). Dengan demikian dapat dipahami bahwa Muhammad Ali ibn Abdul Wahid merupakan murid dari Abdul Lathif ibn Abdullah, yang merupakan murid Abdurrauf al-Fansuri.

Selain silsilah guru-murid yang dihubungkan dengan Abdurrauf al-Singkili, ada juga ulama Aceh abad XVIII dan XIX yang langsung dihubungkan dengan ulama Haramayn, yaitu Muhammad As‘ad. Ulama tersebut di antaranya adalah Muhammad Ali, Abdul Wahab ibn Muhammad Saleh (Teungku Chik Tanoh Abee, w. 1314 H/1893), Teungku Yakub Pantee Geulima, dan Abdul Jalil Kuta Blang Ibn Marhum Hasan Awee Geutah. Daud ibn Abdullah al-Fathani dikabarkan juga belajar padanya.

Muhammad Ali dalam silsilah tersebut, menurut Abdullah dalam silsilah guru Dawud ibn Abdullah al-Fathani juga disebutkan nama Muhammad As’ad. Azyumardi Azra menyatakan bahwa kemungkinan besar yang dimaksudkan adalah Muhammad As’ad al-Hanafi al-Makki, seorang muhaddis, dikatakan merasa sangat bangga mempunyai sebuah ‘isnad hadits yang terlacak ke belakang hingga `Abdullah al-Bashri.

Namun dalam silsilah guru-murid ulama lain yang juga dihubungkan dengan Muhammad As’ad, juga menerima dari Muhammad Sa’id, seperti silsilah Abdul Wahab ibn Muhammad Saleh (Teungku Tanoh Abee), Yakub Pantee Geulima (Teungku Chik Pantee Geulima), dan Abdul Jalil Kuta Blang Ibn Marhum Hasan (Teungku Chik Awee Geutah), disebutkan setelah namanya kata “Madinah”, yaitu Syeikh Muhammad As’ad Thahir Madinah (Lihat Fakhriati, “Dinamika Tarekat”, hlm. 202, 205, dan 206). Penyebutan Madinah mungkin menunjukkan tempat ia menetap dan mengajar ilmunya, sementara penyebutan al-Makki menunjukkan asal negerinya, yaitu Mekah. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Muhammad As`ad adalah seorang muhaddis yang berasal dari Mekah, tetapi menetap dan mengajar ilmunya, termasuk tarekat, di Madinah, sehingga dapat disebut sebagai ulama Madinah.

Pendapat tersebut, kemudian diikuti oleh Fakhriati.. Data tersebut merujuk kepada hasil wawancara dengan Teuku Hasballah dan Nurdin AR tahun 2004, sementara naskah Sira>juddi>n dan Ra’suddi>n tersimpan di Pusat Manuskrip Melayu, Perpustakaan Negara Malaysia, No. MS 2621, serta Naskah Qira>’at menjadi koleksi pribadi Nurdin AR (Lihat Fakhriati, “Dinamika Tarekat”, hlm. 74, 138).

Menyatakan bahwa Muhammad Ali tersebut adalah ulama Aceh, yaitu Muhammad `Ali Pulo Pueb, anak dari Teungku Utsman Langgien. Ia belajar di Mekah selama lebih kurang dua puluh tahun. Di Mekah ia pernah dinobatkan menjadi imam. Setelah itu, ia kembali ke Aceh, dan sekitar tahun 1870 M, ia diangkat oleh Uleebalang Laksamana Polem menjadi Qadhi di Njong, (dulu Teupin Raya) wilayah Lueng Putu, Pidie Jaya. Di antara hasil karyanya adalah Sira>juddi>n yang membahas tentang pengajaran tasawuf, Ra’suddi>n yang berisikan uraian tentang pengamalan suluk, dan Qira>’at yang menguraikan cara-cara membaca al-Qur’an dalam bentuk tilawah.

Menurut Azyumardi Azra, Muhammad ibn Ali al-Syanwani (w. 1233 M/1818 M) adalah salah seorang guru Dawud al-Fathani. Ia menjadi Rektor Universitas Al-Azhar setelah meninggalnya Abdullah ibn Hijazi al-Syarqawi al-Azhari (1150-1227 H/1737-1812 M) yang menjadi Syaikh al-Isla>m dan Syaikh al-Azha>r sejak 1207 H/1794. Dia adalah seorang ulama yang menonjol dalam ilmu-ilmu hadits, fikih, tafsir dan kalam.

Salah satu karyanya, Mi’raj al-Sa>liki>n ila> Martabat al-Wasaliyyin bi Ja>h Sayyid al-‘An (Naskah Koleksi Pribadi Bony Taufiq, Banda Aceh), disebutkan silsilah panjang tarekat Syattariyyahnya, yang dimulai dari Muhammad ibn Ahmad Khatib al-Langgini sendiri, Muhammad Ali, Muhammad As’ad, Muhammad Sa’id, Ibrahim, Muhammad Thahir, Maula Ibrahim, Ahmad al-Qusyasyi, Ahmad Syinawi, Shighatullah, Wajihuddin, Muhammad al-Ghauts, Hushuri, Hidayatullah, Qadhiyin, ‘Abdullah Syathari, Muhammad ‘Arif, Muhammad ‘Asyiq, Khadaqali, Abi al-Hasan, Abi al-Mudhfar, Yazid, Muhammad Maghribi, Abi Yazid, Imam Ja’far, Muhammad Yaqub, Zayn al-‘Abidin, Husain, Saidina ‘Ali ra., terakhir dari Nabi Muhammad Saw.

Muhammad Ali mempunyai murid dari Aceh, di antaranya Muhammad ibn Ahmad Khatib al-Langgini. Dalam salah satu karyanya, Mi’raj al-Sa>liki>n ila> Martabat al-Wasaliyyin bi Ja>h Sayyid al-‘An (Naskah Koleksi Pribadi Bony Taufiq, Banda Aceh), disebutkan silsilah panjang tarekat Syattariyyahnya, yang dimulai dari Muhammad ibn Ahmad Khatib al-Langgini sendiri, Muhammad Ali, Muhammad As’ad, Muhammad Sa’id, Ibrahim, Muhammad Thahir, Maula Ibrahim, Ahmad al-Qusyasyi, Ahmad Syinawi, Shighatullah, Wajihuddin, Muhammad al-Ghauts, Hushuri, Hidayatullah, Qadhiyin, ‘Abdullah Syathari, Muhammad ‘Arif, Muhammad ‘Asyiq, Khadaqali, Abi al-Hasan, Abi al-Mudhfar, Yazid, Muhammad Maghribi, Abi Yazid, Imam Ja’far, Muhammad Yaqub, Zayn al-‘Abidin, Husain, Saidina ‘Ali ra., terakhir dari Nabi Muhammad Saw.

Di antara murid Teungku Abdul Wahab Tanoh Abee adalah Muhammad Thahir Tiro dan Muhammad Sa`id Tanoh Abee ibn Abdul Wahab (w. 1318 H/1901 M). Sementara Muhammad Thahir Tiro mempunyai murid, di antaranya Syeikh Hamzah (Teungku Ie Leubue).

Ulama Aceh lainnya yang belajar langsung dari ulama Timur Tengah di antaranya adalah Muhammad Zayn ibn Faqih Jalaluddin. Di Mekah ia belajar pada sejumlah guru, yaitu Syeikh Muhammad Said (termasuk juga guru Muhammad As`ad), Syeikh Abdul Ghani ibn al-Alim Muhammad Hilal, Syeikh Ahmad al-Farsi (ulama kelahiran Mesir) dan Syeikh Ahmad Durrah (juga ulama kelahiran Mesir). Sebelum pulang ke Aceh, Muhammad Zain al-Asyi sempat mengajar di Masjid al-Haram Mekah, juga mengajar di rumahnya. Di antara murid Muhammad Zayn al-Asyi, atau setidak-tidaknya pernah belajar padanya, yang diketahui dan menjadi ulama terkenal di dunia Melayu ialah Haji Abdur Rauf ibn Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani, Abdus Shamad al-Palimbani (w. setelah 1203 H/1789 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1122-1227 H/1710-1812 M), Muhammad Nafis al-Banjari (lh. 1148/1735), Daud ibn Abdullah al-Fathani (w. 1265 H/1847 M).


Demikian juga dengan Teungku Hasan Krueng Kalee, yang menganut tarekat Haddadiyyah. Ia menerimanya dari Syeikh Utsman ibn Muhammad al-Asyi yang menerima dari Syeikh Muhammad Marhaban al-Asyi dari Syeikh Utsman al-Dimyati. Kemudian secara berurut dari Syeikh Muhammad Amir Kabir, Syeikh Abdurrahman ibn Mustofa, Syeikh Mustofa, Sayyid Abdullah al-Haddad, Habib Umar al-Attas, Habib Husein ibn Abu Bakarr, Habib Abu Bakar ibn Salim, Syeikh Syihabuddin, Abdurrahman ibn Ali, Ali ibn Abu Bakar, Abu Bakar, Habib Abdurrahman al-Saqaf, Habib Muhammad Maulana al-Duwailih, Ali ibn Alawy, Alawy ibn Muhammad, Ali Fikih al-Muqaddam, Ali ibn Muhammad, Muhammad ibn Ali, Ali Khali’ Qasim, Alawy ibn Muhammad, Muhammad ibn Alawy, Alawy ibn Ubaidillah, Ubaidillah ibn Ahmad, Ahmad ibn Isa, Isa ibn Muhammad, Amam Muhammad Naqib, Ali Al-Aridhi, Imam Ja’far Saddiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Zaynul Abidin, Sayyidina Husein Imam al-Syahid, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan terakhir dari Nabi Muhammad Saw. [Bahagia Ishak]

Publikasi Koran Pijay

0 komentar: