Kamis, 31 Desember 2009

Tertipu Celana Pendek (Menanggapi Polemik Syariat Syahwat)

Bahagia Ishak - Opini - Hr. Serambi Indonesia, 31 December 2009, 10:13

DUA tulisan Hasan Basri M Nur (HBN) berjudul ‘Bercelana Pendek.” (Serambi, 4 dan 21/12/2009) telah memicu ‘kemarahan’ kalangan intelektual tradisional Aceh. Dua orang teungku dayah, Tgk Harmen Nuriqmar (HN) dan Tgk Mahfudh Muhammad (MM) tampil membantah wacana HBN (Serambi, 9 dan 23/12/2009). Keduanya tampak hendak mempertahankan tradisi ilmiah ala dayah yang cenderung ‘mendewakan’ pemikiran Islam abad pertengahan. Menurut saya, HBN sendiri tak hendak menentang upaya pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dia menginginkan agar syariat Islam imulai dari persoalan besar dan mendasar, seperti pelayanan publik, pemberantasan pejabat yang berperilaku penjahat, perlindungan penduduk miskin, dan sebagainya. Bukan justru dimulai dari persoalan pemaksaan pemakaian rok bagi perempuan. Usulan HBN untuk menyusun qanun bercelana pendek bagi pejabat sebenarnya hanyalah wujud sikap sikap kecewa (ulok-ulok, peusak hop) pada legislatif karena mereka berwawasan syahwat dalam memandang syariat.

Ada indikasi bahwa penghembusan isu syariat Islam untuk Aceh adalah bagian dari sekenario untuk menipu Aceh sehingga lalai dalam menata masa depan bangsa yang lebih baik. Penipuan berbumbu syariat sudah berulangkali terjadi dalam sejarah Aceh. Pasca hengkangnya Belanda, Soekarno pernah mengelabui Tgk Muhammad Daud Beureueh melalui tawaran pemberlakuan syariat Islam jika rakyat Aceh bersedia membantu perjuangan Indonesia. Begitu juga akhir perjuangan DI/TII dilemahkan oleh tawaran Daerah Istimewa jika mengakhiri pemberontakan. Tidak hanya sampai di situ, tatkala perjuangan GAM dan SIRA memuncak, isu dan tawaran syariat Islam kembali diutarakan. Dari beberapa pengalaman itu, tampak bahwa ulama tradisional dengan mudah ditundukkan hatinya manakala aroma syariat Islam dihembuskan. Mereka pun sibuk memperbincangkan syariat sehingga melemahkan sisi perjuangan lainnya yang lebih besar. Kita tidak berharap kampanye syariat Islam di Aceh pascakonflik kembali menjerumuskan Aceh dalam jurang sehingga energi tersita untuk perdebatan itu di tengah buruknya kinerja pemerintah.

Tgk HN dan Tgk MM tampak lupa menangkap substansi wacana bercelana pendek yang diutarakan HBN. Nah, di sinilah sekarang letak kelemahan ‘ulama ‘ kita. Mereka langsung bergairah ketika kemapanan intelektual mereka terganggu dan langsung memunculkan dalil-dalil dari kitab kuning untuk membenarkan diri. Hingga saat ini belum ada ulama lepasan dayah yang berani memunculkan argumentasi secara murni bersumber dari pikirannya. Padahal Alquran hadits selalu terbuka untuk dikontekstualkan. Tgk MM yang dosen STAI Al-Aziziyah Dayah Mudi Mesra Samalanga tampak tidak mampu melihat kondisi aktual dalam menjawab tantangan keislaman. Dia terlalu memahami agama secara normatif. Padahal, sesungguhnya agama itu dapat dilihat dari berbagai sisi dan dimensi. Dia membayangkan perilaku korup dan ‘tikus berdasi’ terjadi karena tidak adanya qanun jinayat yang mengurusi perzinaan.

Sesungguhnya, kondisi aktual perilaku korup dan pelayanan aparatur pemerintah yang jelek lebih banyak terjadi di lingkungan negara-negara Islam. Aceh yang hampir seluruh penduduknya beragama Islam pernah mencatat diri sebagai ‘juara III’ Asia dalam bidang korupsi. Sementara di beberapa negara sekular yang tidak pernah mengatur syahwat dalam regulasi negaranya seperti di Eropa, Amerika Utara, dan Australia para pejabatnya enggan melakukan korupsi. Membandingkan dua keadaan yang kontradisi itu, secara tidak sadar kita akan berujar: Eropa lebih islami dibanding Aceh yang berlandaskan syariat Islam itu sendiri. Nah, dimanakah letak kesalahannya? Hal-hal seperti inilah yang perlu diijtihadkan oleh intelektual muslim Aceh. Bukanlah malah selalu menyalahkan perempuan dalam berbusana. Kita khawatir, jangan-jangan nantinya akan dibuat qanun penyeregaman celana dalam dengan kain wool dan bergembok. Wah, bisa gawat negeri ini!

Reformasi pendidikan dayah
Tahun 2008 lalu seorang ulama kharismatik Aceh, Tgk Ibrahim Bardan (Abu Panton), sempat menawarkan gagasan baru dalam menyikapi perdamaian Aceh. Pikiran-pikiran Abu Panton yang tertuang dalam buku ‘Resolusi Konflik dalam Islam’ (diterbitkan Aceh Institute) tampak maju dan mampu menyelaraskan isu aktual di Aceh dengan konteks Islam. Abu Panton mampu melepaskan diri dari tradisi berpikir klasik sehingga tulisannya sangat aktual, demokratis dan kontekstual. Namun, sayangnya, kecerdasan Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) itu tidak tertular ke dayah-dayah lain di Aceh.

Dayah adalah lembaga pendidikan Islam yang telah melahirkan ribuan ‘ulama’ di Aceh. Dayah menjadi tempat paling potensial untuk melahirkan para mujtahid yang tidak hanya memandang syariat Islam sebatas celana perempuan. Dalam rangka melahirkan intelektual yang cerdas dan berwawasan luas, maka kurikulum dan metodologi pendidikan dayah harus direformasi. Pendokrinan dan penerapan ilmu secara turun-temurun dari guru kepada murid yang tidak boleh membantahnya harus dikoreksi. Tradisi berpikir dayah perlu disejajarkan dengan universitas, sehingga tidak mudah menuduh pihak lain yang berbeda pandangan dengannya sebagai musuh, seperti tuduhan Tgk MM terhadap Saudara HBN sebagai pengikut JIL (Jaringan Islam Liberal). Tidak diketahui apakah Tgk MM benar-benar mengetahui JIL itu, sehingga menganggap JIL bukan bagian dari ‘kita’, melainkan ‘musuh’.

Melalui reformasi pendidikan dayah, kita yakin akan kelahiran generasi baru Aceh yang cerdas, dinamis dan demokratis. Bahkan mungkin melebihi kecerdasan bangsa-bangsa Eropa yang pernah menyerap ilmu pengetahuan dari Ibnu Rusyd melalui berbagai perguruan tinggi di Spanyol (Andalusia). Sebaliknya, jika kalangan dayah salafiah tetap ngotot pada satu kebenaran seperti tercantum dalam kitab klasik, maka semua itu hanya mimpi di siang bolong.

0 komentar: