Kamis, 31 Desember 2009

Penguatan Konsolidasi Perdamaian

Sosoknya begitu bersahaja, gaya bicaranya santai. Ia teringat masa kuliah dulu, lama menyelesaikan gelar sarjana FKIP Jurusan Dunia Usaha karena aktivitas di Pers Mahasiswa dan aktivitas kemahasiswaan lainnya, masuk tahun 1991 baru menyelesaikan belajarnya tahun 1997.

Dialah Lukman Age, lahir di Kuala Simpang, 27 Agustus 1973. Termasuk salah seorang pendiri UKM Pers penerbit tabloid DETaK mahasiswa tahun 1995 lalu. Kebisukannya semakin padat, salah satunya membantu Gubernur Aceh dengan menjadi anggota Tim Asistensi Gubernur Bidang Transisi, sejak 2008. Saat ini dipercaya juga sebagai Direktur Aceh Institute, sejak 2008 sampai sekarang.

Lukman menilai insiden-insiden kekerasan belakangan ini menyebabkan situasi terakhir Aceh memperlihatkan ada pihak-pihak yang belum ikhlas dengan proses damai yang sedang berlangsung. “Untuk itu diperlukan konsolidasi perdamaian (consolidation for peace), karena para aktor pendukung perdamaian meski jumlahnya lebih besar, saat ini disibukkan dengan agenda masing-masing,” ucap Ketua Umum tabloid DETaK mahasiswa Unsyiah tahun 1995-1996.

Lebih lanjut Alumnus Magister Studi Perdamaian, School of Social Science Universiti Sains Malaysia ini menilai, pemilu 2009 nanti di Aceh harus dipahami sebagai bagian dari penguatan proses damai. Dalam perspektif perdamaian, Pemilu tersebut diharapkan dapat melahirkan pembagian kekuasan (sharing power) agar posisi para pihak yang dulu-nya berkonflik dapat lebih seimbang. Karena struktur kekuasaan yang seimbang merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan perdamaian yang postif. Jika struktur tersebut tidak seimbang maka dikhawatirkan kedepan akan ada lagi ketidakadilan-ketidakadilan dalam kebijakan terhadap Aceh.

Semasa mengambil Magister sibuk dengan aktivitas advokasi pengungsi Aceh yang ada di Malaysia, dan kampanye perdamaian Aceh di Malaysia. Tahun 2005, non aktif karena kembali ke Aceh pasca tsunami, baru kemudian berhasil menyelesaikan dan mempertahankan thesisnya ”Peranan Masyarakat Sipil dalam Transformasi Konflik Aceh” pada Oktober 2007.

Pemerintah Pusat bisa saja memaksakan apapun yang dirasakannya benar untuk Aceh, karena posisi tawar Aceh untuk menolaknya lemah. Bila pemaksaaan ini terus berlanjut, dan Aceh tidak punya kekuatan politik untuk menolaknya, bisa jadi akan ada pihak-pihak yang membangun kekuatan lain yang melegalkan penggunaan kekerasan. “Dan di Aceh selalu saja ada orang yang siap jadi martir. Oleh karena itu, rakyat Aceh yang akan jadi pemilih pada tahun depan, harus bijak menetapkan pilihannya. Setiap suara bila digunakan dengan baik akan berkontribusi bagi penguatan struktur perdamaian yang sudah ada ini,” ucapnya.

Kekuatan kelompok pro perdamaian untuk Aceh saat ini secara kualitas dan kuantitas jauh lebih besar jika dibandingkan semasa era 2004 atau bahkan era 1998-1999, saat masyarat sipil pro perdamaian dan demokrasi sangat kuat di Aceh.

Staf Khusus Wakil Kepala BRR NAD NIAS, sejak 2008, sebelumnya sejak 2006 sebagai Manajer Beneficiaries Keduputian Perumahaan ini menilai saat ini Pemerintah SBY-JK di Jakarta mendukung perdamaian, GAM mendukung perdamaian, masyarakat internasional mendukung perdamaian di Aceh, rakyat kebanyakan juga sudah bosan dengan konflik, namun ini semua tidak berarti jika kita semua tidak mengambil langkah-langkah yang stretegis menghadapi indikasi-indikasi kekerasan belakangan, dan akhirnya dengan mudah pihak yang tidak setuju dengan damai di Aceh--yang mestinya mereka saat ini lebih terkonsolidasi—menggiring situasi kepada keadaan yang lebih buruk lagi. [Bahagia Ishak]

0 komentar: