Kamis, 31 Desember 2009

Merubah Konsep Pendidikan Dayah

Tidak mungkin Aceh diperbaiki oleh orang lain, perubahan datang dari jiwa kita. Santri dan thaliban diharapkan menjadi ulama, remaja masjid juga bisa melakukan perubahan dalam kehidupan rakyat Aceh. Pemerintah Aceh mengutamakan pendidikan agama, dengan cara segera membangun dayah-dayah di perbatasan Aceh. Tujuannya adanya penerang umat, sehingga melahirkan penceramah, alim ulama, pemikir dan panutan dalam masyarakat.

Ucap Muhammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh pada pelepasan pengiriman magang santri dayah dan remaja masjid se-NAD ke Jakarta, kamis(6/8) malam di pendopo wakil gubernur.

Di bawah pemerintahan kami, telah membentuk Badan Pembinaan dan pendidikan Dayah berdasarkan qanun nomor 5 Pemerintahan Aceh. Tidak ada di dunia, hanya ada di Aceh kata Wagub. Badan ini bertugas membentuk pendidikan khusus dayah di Aceh. Program jangka pendek menertibkan dayah-dayah mendapatkan bantuan pengembangan dayah. Program jangka panjang membuat kurikulum dayah, alumni dayah dapat bersaing dengan Universitas.
Badan dayah harus benar-benar melaksanakan pengembangan dayah dengan cara melaksanakan berbagai kegiatan seperti workshop, training dan pelatihan bagi santri di dayah. Menurut data yang telah ada, sekitar 600 dayah akan disalurkan bantuan, baik itu tipe A dan B. Bantuan diberikan bervariasi, mulai dari 100 juta sampai 300 juta kata Nazar.

Wakil Gubernur menyarankan salah satu cara untuk pengembangan dayah adalah dengan menambah kurikulum, bukan mengurangi metode pelajaran yang telah ada. Ia berharap santri bisa menguasai IT dan internet. Kualitas santri dan alim ulama harus ditingkatkan. Pemerintah Aceh mendukung program magang ini ke Jakarta, asal bertujuan untuk kebaikan dan bermanfaat bagi rakyat Aceh.

Nazar meminta, masyarakat dayah harus menguasai teknologi untuk penyampaian pesan agama. “Teknologi harus dimanfaatkan untuk membesarkan agama. Mata pelajaran tulis-menulis harus diajarkan di dayah, saya menunggu santri menulis di koran-koran”, pesan Nazar lagi.

Wakil Gubernur prihatin dengan kondisi Aceh saat ini. Sangat sulit di Aceh membangun komunitas, dimana telah tercipta satu komunitas terpencil dan tidak menghiraukan perkembangan zaman karena konflik.

“Saya nyakin, para santri akan banyak mendapatkan wawasan yang tidak ada sini. Para Teungku diharapkan bisa mengembalikan Aceh sebagai pusat sentral ilmu seperti dulu lagi,” ucap Muhammad Nazar usai makan malam bersama santri yang ikut dihadiri Kepala Badan Dayah Prov NAD, Bustami Usman.

Sekarang harus merubah pola berdakwah, tidak boleh saling mencaci maki sesama pendakwah. Orang sekolahan di Universitas di caki maki oleh orang dayah. Jangan terjadi seperti di Irak, saling bunuh membunuh antar Sunni dengan Syiah. Hal ini jangan sampai terjadi di Aceh harapnya.

Satu hal lagi tambah Nazar, dayah telah diakui oleh Undang-Undang. Ini adalah perjuangan kita bersama. Dayah harus difasilitasi oleh pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota demi perkembangan dayah di masa depan.

Wakil gubernur berharap kepada para peserta magang dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan menambahkan wawasan, waktu pulang ke Aceh bisa memberi warna baru bagi pengembangan dayah.

Badan dayah diharapkan mampu menjembatani berbagai persoalan di dayah. Dayah secara sosial dan keagamaan, memberi pengaruh besar terhadap perubahan dan kemajuan masyarakat Aceh.

Pendidikan dayah telah menjadi kebutuhan bagi rakyat Aceh, artinya dayah telah sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya. Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah menjadikan lembaga ini mendapatkan fasilitas dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kebupaten/kota. “Ini satu-satunya kekhususan Aceh yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia,” tambah Nazar.

Bustami Usman, Kepala Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah Aceh mengungkapkan badan ini nantinya akan bekerja secara maksimal meningkatkan mutu dan kualitas dayah. Membantu dayah di Aceh sesuai kebutuhannya, baik prasarana, kurikulum dayah, membantu merubah manejemen, peningkatan kualitas santri serta memberdayakan dayah sesuai dengan letak geografis. “Tujuan semua itu untuk menciptakan kemandirian ekonomi dayah,” ungkap Bustami.

Menyangkut maraknya dayah di Aceh, Bustami mengatakan badan ini sudah membentuk tim verifikasi dayah, bertugas melakukan surve ke lokasi dayah berada. Dengan data lapangan, maka akan ada satu data lengkap dalam menyalurkan bantuan nantinya. Sedangkan kriteria dayah yang akan mendapatkan bantuan dan pembinaan lagi dalam pembahasan di internal, ucapnya.

Selanjutnya anggaran pendidikan dayah tahun 2008 sebesar 177 miliyar. Dikelola langsung oleh badan dayah sebanyak Rp 175 miliyar, sisanya yang Rp 2 miliyar lagi dikelola oleh biro Keistimewaan Dayah.

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan dana tersebut akan diberikan untuk semua dayah, baik Salafi maupun modern menurut jenjang pendidikan, setelah melalui survey oleh tim badan dayah ucapnya.

Sementara Tgk Muntasir, Kepala Program BRR NAD-Nias Bidang Agama Sosial Budaya Wiliyah II, didampingi oleh Erawadi, Kepala Satker BRR Agama, Sosial dan Budaya Regional II. Setelah shalat magrib berjamaah di Musalla pendopo Wakil Gubernur Aceh mengatakan, para santri dan remaja masjid peserta magang akan dilatih metodelogi penelitian, ilmu jurnalistik, bahasa Inggris dan wisata spiritual selama 25 hari di Central For The Study Religion an Culture (CSRC) UIN Jakarta.

Terdiri dari 20 orang peserta; 15 laki-laki dan 5 perempuan. Sebelum diberangkatkan, mereka diberikan berbagai pelatihan dasar dalam kelas Studi Purna Ulama (SPU) dilaksanakan oleh Rabithah Thaliban Aceh (RTA) yang di sponsori oleh BRR NAD-Nias, melalui satuan kerja bidang Agama, Sosial dan Budaya Regional II. Waktu ikut pelatihan sebanyak 30-an orang, kita diseleksi lagi maka tinggal 20-an orang ucap Tgk Muntasir.

Lebih lanjut Tgk Muntasir mengatakan tujuan dilaksanakan program ini untuk menciptakan kader-kader dayah dan remaja masjid Aceh berwawasan, berkemampuan serta mampu bersaing dengan lulusan Universitas.

Hal senada juga disampaikan oleh Tgk.H.Anwar Usman Kuta Krueng, Ketua Rabithah Thaliban Aceh, dalam pidatonya mengharapkan kepada yang telah diberi amanah menuntut ilmu diluar Aceh. Jangan menyia-yiakan kesempatan dengan meninggalkan dayah. Harapan kepada angkatan pertama ini, tidak hanya mencari ilmu disana, coba gunakan waktu untuk belajar. Pulang dari sana nanti bisa memajukan dayah masing-masing harapnya.

Tgk.H.Anwar Juga mengharapkan pemerintah agar kegiatan semacam ini perlu dipikirkan kesinambungannya, sehingga tidak terputus. “Masih banyak guru-guru dayah dan santri yang membutuhkan perhatian untuk mengikuti magang di luar seperti ini,” ujar Anwar dalam sambutannya.

Sementara itu Salman Alfarisi, salah seorang peserta dari Dayah MUDI Mesra Samalangan, Bireuen. Mengatakan sangat berterima kasih telah diberi kesempatan membuka wawasan kami, para santri Dayah untuk berkembang dan melihat dunia luar. Dayah sangat tertinggal dalam segala hal aspek, seperti kurangnya penguasaan ilmu dan teknologi, ucapnya.

Putra dari Aceh Selatan ini berkisah, setelah tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di gampong melanjutkan pendidikan di Dayah Mudi Mesra Samalanga. Ketertarikan untuk belajar agama tergores dihatinya, kegigihan mencari pengetahuan agama membuat dirinya bertahan menuntut ilmu agama di Dayah.

Magang bersama santri dan remaja masjid adalah pengalaman pertamanya. Coba belajar disana supaya berwawasan luas dan menambah pengetahuan tentang luar Aceh. “Ini baru pertama saya ke Jakarta,” ucap Salman Alfarisi. [Bahagia Ishak]

0 komentar: