Kamis, 31 Desember 2009

Pemilu Melestarikan Perdamaian Aceh

Publikasi Majalah Nanggroe

Masih muda serta berwibawa terlihat dari mukanya yang putih berseri. Memancarkan kedewasaan, terbukti telah banyak pengalaman memimpin berbagai organisasi, mulai dari organisasi kampus hingga ke organisasi kepemudaaan. Karir organisasi dimulai saat menjadi Ketua Osis SMA 1 Meureudu tahun 1993 lalu. Namanya terus bersinar mengapai cita-cita begitu besar terparti dalam jiwanya.

Itulah dia, Yusra Jamali, S.Ag, M.Pd, anggota Panwaslu Aceh, lahir 32 tahun lalu di Beuracan, Meureudu. Saat ditemui dikediamannya Jln. Lingkar Kampus No. 5 Darussalam Aceh Besar.

Ketua MPM Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry tahun 1998 lalu bercerita, bahwa sampai hari ini belum menerima SK dari Banwaslu. Walau sudah ditetapkan sebagai anggota Panwaslu Aceh 9 Juni 2008 lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), anggota Panwaslu belum juga dilantik. “Kami belum punya wewenang penuh untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap tahapan Pemilu yang dilakukan KIP Aceh,” katanya.

Suami Helma Sari, A.Md ini berharap, jika sampai bulan ini belum juga dilantik, maka jika ada pelanggaran pemilu tidak ada yang memantau. Seperti pelaksanaan Pilkada Pidie Jaya dan Subussalam dua bulan kedepan, ucapnya.

Ia bersama kawan-kawan Panwaslu lainnya mempertanyakan kepada Banwaslu, kenapa saya dan Nyak Arief Fadillah Syah, S.Ag, Rasyidin Hamin, SE, MM, M.Kes, Radhiana, SE, MM, dan Asqalani, S.TH belum juga dilantik.

Nama-nama kami telah disahkan melalui sidang paripurna khusus dengan agenda Pengesahan Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tanggal 9 Juni 2008 lalu, ucap ayah Vira Asfarina Yusra dengan tegas.

Pria aktif berorganisasi ini telah banyak jabatan sosial disandangnya, terakhir dipercaya sebagai Ketua Umum PW. HIMMAH Aceh dan Ketua Asosiasi Wartawan Muslim Indonesia, juga aktif menulis di media massa ini memulai hari-harinya dengan optimis, dan dapat mengawal pemilu Aceh hingga melahirkan seorang pemimpin benar-benar dipilih oleh rakyat Aceh harapnya.

Yusra masih risau dengan belum ada kejelasan kapan pelantikan Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh dilaksanakan. Padahal belum dilantiknya Panwaslu, membuat tahapan pelaksanaan pemilu di Aceh melanggar aturan, dimana ada parpol dan para calon mengkampayekan dirinya ke berbagai kalangan dalam masyarakat. Seperti menempel atribut partai pada rumah ibadah; masjid, meunasah, kantor pemerintah dan rumah sekolah serta di kampus. Inikan tugas Panwaslu Aceh memantau sepak terjang mereka. Kita tidak bisa bekerja karena terganjal surat dari Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) Pusat tegasnya.

Perlu belajar sejarah dan melestarikan sejarah Aceh, kehadiran partai lokal sebagai salah satu wahana penyaluran aspirasi bagi masyarakat Aceh untuk berhimpun dan bersyarikat dalam koridor hukum yang berlaku di RI, parlok adalah sejarah baru bagi Aceh.

Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah adanya parlok di Aceh, merupakan peluang untuk menggali potensi lokal, situasi ini harus dimanfaatkan oleh partai lokal merebut suara rakyat Aceh dalam pemilu 2009 mendatang.

Bagi masyarakat, kedamaian dan pelestarian kemajemukan dalam berpolitik bagi Aceh menjadi hal yang istimewa dan sejarah dalam percaturan politik di nusantara. Siapapun yang sudah berkempatan membentuk parlok, diminta untuk selalu berfikir positif dan berjuang bagi kemeslahatan Aceh kedepan harapnya.

Wakil Sekretaris Jenderal PP. Koniry ini juga menyatakan banyak pihak menaruh harapan kepada parlok dan parnas untuk mempertahankan serta melestaraikan perdamaian di bumi Serambi Mekkah.

Setiap anak bangsa, mendapatkan porsi sama melibatkan diri dalam kancah politik, namum jangan lupa kita semua berangkat dari konflik dan keterputus asaan. Jadi, jangan lagi merasut benang basah di antara kita, kembali kepada amanah umat ucapnya lagi.

Memiliki motto hidup kerja keras dan pantang menyerah dan siap melawan bagi siapapun yang melanggar peraturan ini terus berusaha menjalankan tugasnya memantau jalannya tahapan pelaksanaan pemilu di Aceh.

Saat ditanya tentang proses pengawalan Pilkada di Pidie Jaya dan Subussalam, dua daerah pemekaran. Yusra dengan tegas menjawab belum bisa bekerja, “Kami ketahui kedua daerah itu sudah ada kampaye terselubung dari calon Bupati dan Walikota,” ucapnya.

Yusra mengingatkan dengan hadirnya partai lokal, jangan ada trauma politik menghinggapi pemerintah. Jangan adalagi upaya pergerakan tuntutan macam-macam, mari kita jalankan amanah ini dengan baik. Trauma politik ini akan berimplikasi kepada kurang responnya pemerintah dalam melihat esensi dari pembangunan politik lokal, padahal dengan adanya parlok akan menggali potensi bagi masyarakat Aceh.

Saat pemilihan umum legislatif nanti, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih.

Anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh tahun 2006-2008 lalu juga pernah mendapatkan penghargaan atas peran serta dalam menyukseskan Pemilihan Langsung Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota se-Provinsi Aceh pada tahun 2006 lalu dari Unition National Deveploment Programe (UNDP) dan Gubernur Aceh.

Permasalahan sering timbul dalam sebuah lembaga, seperti parpol menghadapi masalah internal, di mana kuatnya relasi patron-klien dalam struktur kepartaian. Konstituen hanya untuk mobilisasi, bukan partisipasi. Massa hanya diperlukan ketika kampanye pemilu, setelah itu komunikasi terputus. Permasalahan kedua, faktor yang berkaitan dengan eksternal yaitu pada struktur pengaturan dan politik hukum yang mengatur sistem kepartaian maupun sistem pemilu. Adanya pengaturan azas, landasan, tujuan partai yang membingungkan ucapnya.

Tetapi, bila parlok akan menambah masalah atau membuka peluang bagi muculnya alternatif saluran politik. Sistem partai terkadang tidak mampu menjawab kebutuhan pada tingkat lokal, semua mesti menunggu keputusan pengurus di atasnya dan akhirnya tidak responsif terhadap perkembangan dalam masyarakat Aceh.
Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menganalisa bahwa parlok dapat menjadi tantangan bagi partai nasional. Dimana partai nasional harus memperbaiki diri dan benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat.

Alumni Master Manajemen Pendidikan Unsyiah ini juga berani mengatakan akan ada perang politik antara partai lokal dengan partai nasional nanti, dimana akan terjadi perebutan lahan suara dan berlomba-lomba mendapatkan hati rakyat Aceh dengan berbagai macam cara. Inilah tugas Panwaslu mengontrol cara kerja meraka dilapangan, ucapnya dengan tegas. [Bahagia Ishak]

0 komentar: