Senin, 28 Desember 2009

Kontroversi Qanun Akhir Jabatan DPRA Aceh

Perjalanan sejarah panjang masyarakat Aceh telah membentuk karakter rakyat Aceh menjunjung tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat menjalankan syariat Islam. Makna Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala telah mencerminkan perwujudan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Sultan Aceh Darussalam semuanya taat menjalankan fatwa ulama dalam melaksanakan Syariat Islam sampai dengan datangnya penjajahan Belanda pada tahun 1873. Setelah Indonesia merdeka, rakyat Aceh bersama para ulama memperjuangkan agar pemerintah Republik Indonesia dapat mengundangkan berlakunya kembali Syariat Islam secara kaffah bagi rakyat Aceh.

Usaha tersebut membuahkan hasil, meskipun dalam kewenangan yang terbatas dalam bidang hukum kekeluargaan saja (AI Ahwal Al Syakhshiyah), yaitu dengan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama Mahkamah Syar'iyah di Daerah Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan di Aceh meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Kondisi hari sekarang, banyak qanun telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Aceh. Belum sepenuhnya memperhatikan keberlangsungnya dan perkembangan adat istiadat Aceh. Hukum yang berlaku di Aceh diciptakan yang ditakuti oleh rakyat Aceh sendiri. Peraturan dibuat dan diberlakukan bagi rakyat biasa. Pengetukan palu pengesahan Qanun Hukum Jinayat (Pidana Islam) dan Qanun Acara Jinayat disahkah oleh tujuh dari delapan fraksi menyatakan setuju klausul hukum rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah pada hari Senin, 14 September 2009 lalu.

Qanun jinayat itu antara lain memuat klausul sejumlah sanksi, termasuk sanksi potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina yang berkeluarga. Sebuah sanksi terhadap pelanggaran pidana yang biasa dipraktikan di negara-negara yang melaksanakan syariat Islam.

Ada yang menuduh produk hukum itu adalah propaganda sebagian elit politik Aceh tentang pilihan politik penegakan syariat Islam di Aceh sebagai cara bagi elit politik untuk mempertahankan pendukung politik kelompoknya.

Hukum Islam itu diterapkan untuk kedamaian dan kesejahteraan ummat manusia di muka bumi dan bukan untuk menakut-nakuti. Salah seorang Ulama Aceh, Abu Panton mengajak Pemerintah Aceh bersama masyarakatnya perlu lebih dulu membentuk manusia sadar kepada hukum. Hal ini dilakukan dengan jalan memberikan pengetahuan tentang aqidah, pemantapan dan penghayatan syariat Islam. Setelah mereka sadar terhadap aqidah dan syariat Islam, baru pelaksanaan hudud (hukuman) penuh bagi orang yang melanggar hukum jinayat.

Orang berzina yang telah menikah dikenakan hukum rajam sampai mati. Untuk melaksanakan hukuman rajam sampai mati bagi orang yang berzina itu, harus ada empat orang saksi yang dinilai berlaku adil dan jujur. Untuk mencari empat saksi yang berlaku adil dan jujur, menurut Abu Panton, tidak mudah. Dijelaskannya, orang yang akan dijadikan saksi itu juga punya kriteria. Antara lain, tidak pernah melakukan perbuatan dosa besar maupun kecil. “Karena menyangkut dengan nyawa seseorang, Islam mengaturnya dengan sangat hati-hati,” ujar Abu Panton.

Perlu diingat, pemberlakukan qanun itu jangan merugikan Aceh sendiri. Qanun berlebihan bisa merugikan Aceh,
investasi tidak mau masuk, orang luar tidak mau ke Aceh, pergi ke Aceh seperti memasuki daerah seram dan ada ketakutan, apa hal ini diperhitungkan oleh DPRA Aceh.

Sedangkan Pemerintah Aceh sendiri menolak dan keberatan terhadap rancangan qanun tersebut. Menolak Qanun Jinayat dan Acara jinayat, yang memasukan hukuman rajam bagi pelaku zina (penzina) yang telah menikah akan dikenai hukuman rajam sampai mati. Kontroversi yang paling serius antara pihak legislatif dan eksekutif Aceh.

Rancangan Qanun (Raqan) Jinayat dan Hukum Acara Jinayat disahkan di tengah aksi pro-kontra. Saling lempar pantun di media massa telah menjadikan rakyat Aceh trauma, psikologi masyarakat tertekan dan berubah sehingga ada yang menolak qanun berlaku di Aceh. Produk hukum ini ditakutkan hanya berlaku dan implementasinya bagi masyarakat Aceh.

Otonomi khusus untuk telah melahirkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, mencakup seluruh aspek hukum dan
ketentuannya dalam Syariat Islam. Syariat Islam dalam tatanan hukumnya menjangkau seluruh aspek hukum, baik dalam aspek hukum publik maupun hukum privat. UU ini membahas bidang-bidang hukum Syariat Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Syariat Islam, sedangkan rumusannya secara lengkap dan rinci telah diatur dalam Qanun tersendiri yang menetapkan hukum materil dan hukum formil.

Menurut Mendagri, pengesahan qanun itu harus disetujui oleh kepala daerah. Gubernur Aceh tidak mau tanda tangan. Berarti ada satu hal yang kurang dari situ, dari sisi aturan hukumnya. Pengesahan Qanun Jinayat itu telah dan masih dikaji secara hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM karena pemberlakuan sebuah Perda (qanun di Aceh) harus dilihat dalam tataran nasional.

Penerapan hukum semacam itu memang unik dan tidak banyak diterapkan. Salah satu negara yang pernah menerapkannya adalah Afghanistan ketika berada di bawah kekuasaan Taliban. Jika sanksi semacam itu diterapkan di Aceh, maka Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang memiliki daerah dengan hukum semacam itu. Masyarakat Aceh agaknya memang perlu memikirkan ulang sebelum menerapkan hukum seperti itu. Harus dipertimbangkan pula dampak sosialnya, apakah akan memberikan manfaat kepada masyarakat atau hanya menimbulkan kontroversi.

Semua peraturan yang telah disahkan memang wajib dijalankan oleh pemerintah. Pemberlakuan hukum harus memiliki pengakuan sosial dan ada penerimaan masyarakat. Tanpa hal itu pemberlakuan hukum rajam itu tidak akan efektif. Elemen sipil masyarakat Aceh yang menolak bisa mengajukan keberatan tentang qanun itu dengan mengajukan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Agung.

Dalam draf qanun yang disahkan, pasal 24 ayat (1) menetapkan hukuman 100 kali cambuk bagi pelaku zina yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah. Di ayat (2) disebutkan, bagi pelaku jarimah seperti yang disebutkan di ayat (1) bisa juga dikenakan hukuman penjara 40 bulan.

Sejak draf Qanun Jinayat dirumuskan oleh eksekutif dan kemudian diserahkan pada legislatif, terjadi peminggiran terhadap aspirasi masyarakat sipil. Sejumlah kalangan juga menilai penerapan sanksi rajam dan potong tangan itu terlalu terburu-buru. Dalam hal ini Aceh dinilai melangkah terlalu jauh dalam menerapkan syariat Islam.

Salah seorang Anggota dari Perkumpulan Masyarakat Aceh se-Dunia atau World Acehnese Association (WAA), Tarmizi Age, menilai pengesahan qanun diduga adalah proyek Jakarta. "UU ini digolkan karena para politisi itu memperoleh dana dari Jakarta. Pemberlakuan syariat Islam, kata Tarmizi, bukan cita-cita yang ingin diraih pasca Perjanjian Helsinki. Apalagi fenomena saat ini, dimana pelaksanaan syariat penuh dengan nuansa politik.

Tarmizi menolak keras hukuman cambuk di depan umum, yang saat ini diberlakukan di Aceh. "Saya pikir memukul orang di depan orang ramai, baik itu dilakukan di depan masjid, tergantung pada kejahatannya, ini adalah suatu kejahatan yang sulit diterima oleh siapa saja," kata dia. Apalagi hukuman potong tangan bagi pencuri. "Karena saya pikir jika orang lapar datang mencuri, kemudian dipotong tangan, apakah itu Islam?" kata Tarmizi. "Tapi bagaimana dengan orang-orang gede, juragan-juragan, orang kaya, pemerintah yang korupsi. Tapi mereka tidak diapa-apakan. Itu bukan syariat Islam namanya," tegas Tarmizi.

Kalangan aktivis sipil di Aceh mendesak agar legislatif dan pemerintah Aceh tidak terburu-buru mengesahkan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah. Rencana pengesahan itu dinilai tergesa-gesa dan sarat dengan kepentingan politis. Meski memuat aturan potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina, tak ada aturan yang menyebutkan soal perampokan, korupsi, dan pembunuhan. Kalangan aktivis menilai, aturan tersebut hanya akan menyentuh kalangan masyarakat kelas bawah.[]

0 komentar: