Kamis, 31 Desember 2009

Kehidupan Petani Nilam tak Semegah Minyaknya

Oleh Bahagia Ishak [Publikasi Kolom Fokus Harian Aceh]

Ada bangunan tua berdiri di samping Masjid Kota Bakti Gampong Pasar Kota Bakti Kabupaten Pidie telah berubah menjadi industri penyulingan minyak nilam. Kilang kecil ini lahir dari tangan Ridha Al Rasyid (58 tahun), telah melakukan penyulingan minyak nilam dari petani Lamlo dan Tangse dengan biaya produksi dari modal sendiri.

Kecilnya perhatian pemerintah untuk pengembangan penyulingan minyak atsiri di daerahnya menjadikan sebuah tantangan untuk mengabdi bagi petani. Beberapa kali mengajak pemerintah daerah mendukung pengembangan dan proses pengolahan minyak atsiri petani di wilayahnya. Semasa konflik pertumbuhan ekonomi petani atsiri tidak ada, dimana banyak lahan kosong produksi telah lama ditinggalkan. Hadirnya penyulingan atsiri dengan kapasitas produksi 200 liter ini ikut menambah semangat para petani.

Broiler berbahan bakar kayu berisi air panas dengan kapasitas 300 liter telah berubah warnanya menjadi gelap. Uap air mengalir ke dalam reaktor stainsless steel kecil yang berisi nilam kering dengan kapasitas 200 liter berdiri diatas penyangga kayu. Uap panas berupa cairan campuran minyak dan air keluar dari reaktor dengan pipa menuju kondensor sebagai pendinginan. Cairan menetes dari kondensor ditampung dalam drum penampungan pertama, selanjutnya masuk kedalam drum kedua untuk dipisahkan minyak nilam dengan air.

Inilah proses penyulingan minyak nilam yang telah berhasil dipraktekkan oleh Ridha Al Rasyid. Semangatnya luar biasa dalam pengembangan penyulingan atsiri bagi petani. Dengan usahanya dapat memacu semangat petani atsiri Aceh dalam bekerja, Ia sangat berharap pemerintah bertindak dan menampung minyak produksi petani Aceh.

Menurut Insiyur Ridha, Pemerintah daerah belum berhasil mengembangkan hasil produk dari petani lokal yang laku di jual di pasar nasional dan Internasional. Kondisi ekonomi petani sangat memprihatinkan, profesi petani tidak pernah menjanjikan kekayaan dan hidup dengan serba ada. Potensi Aceh yang kaya dengan sumber daya alam terabaikan begitu saja, saatnya pemerintah memajukan petani mengenal teknologi dalam bertani.

Petani minyak atsiri hidup di bawah garis kemiskinan. Produksi minyak atsiri yang diolah secara tradisional dinilai dengan harga rendah. Minyaknya di jual kepada penampung, petani terpaksa menjual hasil olahannya kepada penampung dengan harga rendah, tergantung dari kualitas minyak yang dihasilkan.

Untuk menghasilkan 1 (satu) liter minyak, dibutuhkan 50 kg daun nilam kering (rendemen 2%). Harga daun kering di tingkat petani berkisar Rp 6.000 perkoligram. Ongkos produksi minyak nilam berkisar Rp 350.000,- perliter. Bulan oktober 2008, harga minyak nilam berkisar Rp 600.000,- s/d Rp 700.000,-, dari harga ini ada margin yang cukup besar, yaitu Rp 250.000,- perliter. Harga yang tinggi membuat sikap latah para pekebun, kembali beramai-ramai membudidayakan nilam. Pada pertengahan bulan Nopember 2008 harga meroket terus mencapai angka Rp 380.000,- perliternya.

Pemerintah daerah diharapkan menampung produk minyak atsiri, mengontrol harga, menyiapkan konsep pengolahan, memberi pendampingan dan bimbingan kepada petani. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa pola penanaman dan mutu minyak yang dihasilkan harus sesuai dengan standar. Aceh sebagai daerah produksi minyak atsiri tidak bisa merubah masyarakatnya hidup makmur dan sejahtera. Sampai hari ini petani tidak pernah kaya, petani rata-rata miskin, bekerja ke lokasi kerja dari pagi ke sore hari. Petani ikut membantu menambah kekayaan ‘toke’ penampung. Produk dibeli dengan harga sesuai dengan kualitasnya.

Profesi sebagai petani di negara maju menjadi salah profesi yang mengiurkan. Petani menjadi pondasi perekonomian negara, seperti Amerika Serikat. Negaranya kuat karena kilang petani aktif sebagai produsen penyediaan barang bagi kebutuhan dalam negerinya. Sedangkan di Indonesia, bekerja sebagai petani adalah dipandang sebelah mata, jarang ada petani sukses dalam hidupnya. Petani Indonesia tidak berkelas, tidak memakai dasi dan naik mobil mewah. Petani Indonesia adalah petani miskin tidak terurus oleh pemerintah. Petani terabaikan dan nilai jual produk murah, tidak bisa mendongkrak kehidupan dan ekonomi keluarganya.

Padahal jika penyulingan berhasil dilakukan, tanaman penghasil minyak atsiri akan menjadi andalan pendapatan daerah. Prospek atsiri begitu besar kedepan dan dapat dikembangkan, mengingat tersedianya lahan yang subur dan kualitas produksinya terbaik. Penanaman bahan baku minyak atsiri di Aceh telah lama dilakukan oleh petani dengan cara tanam masing-masing keluarga, sampai hari ini belum ada petani terorganisir menanamnya.
Ada 80 jenis tanaman yang dapat dikembangkan untuk kebutuhan tersebut. Dari 80 jenis tanaman yang telah ditemukan, 70 jenisnya dimiliki Indonesia. Beberapa malah sudah mendapat pasaran, sedang lainnya masih dikembangkan dan punya potensi yang sangat besar kedepan.

Jenis-jenis yang sudah bekembang dan telah mendapatkan pasaran dunia, seperti minyak buah cengkeh, daun dan tangkainya, pala, kemiri, kapulaga, sirih, kayu manis, jeruk perut, rimpang jahe, lajagua, nilam, serehwangi, akarwangi, mawar melati, kenanga, Ylang-ylang (bungong jumpa), minyak kayu putih, gaharu, cendana. Sedang dikembangkan seperti kemangi, kencur, temulawak, maisoia oil, kunyit, sedap malam, kapulaga, kamboja, lavender, kemukus, lengkuas, dan lain-lain. Hasil suling tersebut masih terbatas sebagai bahan mental (Crude oil) dengan harga yang cukup lumayan.

Jenis wewangian dan kaca, bukan lagi sebatas cengkeh, lada, kapulaga, melati, daun pacar. Kencur, sirih, ganja atau sebanyak 44 jenis tadi, tetapi telah berkembang lebih banyak lagi. Indonesia sebagai daerah mega biodiversitas yang terbesar di dunia setelah Brazilia, memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati diatas 30.000 jenis. Dari jumlah itu 940 jenis diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat, namun sayang sedikit yang bisa dimanfaatkan. Baru 180 jenis yang digunakan untuk industri jamu, umumnya di Jawa, selebihnya masih merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka.

Pada Abad ke XIX, tumbuh–tumbuhan telah digunakan untuk obat–obatan, dengan cara segar atau dikeringkan. Sebelumnya digunakan sebatas untuk makanan dan minuman saja. Cina menggunakan tanaman obat-obatan sejak 2400 sebelum masehi. Misalnya Jamur Ling Zhi (jamur seribu khasiat), sebagai obat awet muda dan diabetes mellitus juga berbagai jenis penyakit lainnya. Demikian dengan tahu yang dibuat dari fermentasi kacang kedelai dan cincow yang dibuat dari jenis daun–daunan. Bermacam cara untuk memperoleh khasiat dari tumbuh–tumbuhan tersebut, baik dengan ekstaksi dengan zat tertentu atau sistem penyulingan. Minuman cola sendiri diperoleh dari ekstaksi tumbuhan kayu dan beberapa campuran tertentu, juga Essen yang beredar di pasaran adalah ekstaksi dari tumbuh–tumbuhan sesuai dengan namanya masing – masing.

Memperoleh zat–zat tersebut dalam tumbuh–tumbuhan, secara sederhana digunakan sistem penyulingan. Sistem teknologi tepat guna ini dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus memiliki keahlian atau tingkat pendidikan tertentu. Minyak–minyak dari hasil penyulingan berkembang secara lebih pesat untuk kebutuhan bahan dasar kosmetika, deodorani, parfum, tissue dan spray, obat–obatan untuk kesehatan antiseptil, sabun, makanan dan minuman, disinfektan, semir dan bahan pengilap (terutama yang mengandung lilin).

Pada tahap berikutnya crude oil tersebut diolah kembali oleh negara maju seperti Amerika, Korea, Perancis, dan Eropa timur lainnya dengan penelitian untuk memperoleh zat didalamnya, seperti eugenol pada cengkeh, Miristisin pada Pala. C10, C12, C15, dan C16 pada Maisoia, Elettaqria Cardomomum pada Kapulaga, Sabinene pada Daun Jeruk Purut, tanin dan alil Pirokatekol pada daun sirih dan lain-lain untuk kebutuhan bahan kimia dan fitofarmaka. Harga cukup lumayan sampai ratusan kali dari harga Crude Oil seperti crude oil minyak daun cengkeh 50 ribu perliter, setelah jadi Eugenol harganya Rp 60 juta perliter. Harga minyak pala Rp 600 ribu perliter, setelah jadi zat miristin di jual dengan harga Rp 40 juta perliter. Sedangkan zat C10 yang terkandung dalam baan Maisora, bahan mentah seharga Rp 1,3 juta – 2,2 juta dijual seharga Rp 50 juta perliter. [dsb]

0 komentar: