Kamis, 31 Desember 2009

Kawin Dulu Nikah Kemudian

Oleh Bahagia Ishak [Publikasi Kolom Opini Harian Aceh]

Tulisan ini terinspirasi dari fenomena baru di Aceh, dimana anak muda telah mengambil tayangan televisi sebagai kiblat dan pegangan hidup bermasyarakat. Tingkah laku pemeran dalam televisi menjadi contoh tauladan, hingga dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Televisi telah mengajarkan kepada penonton untuk menjalani hidup bebas. Dikisahkan bahwa, selama hidup bebas menikmati, menjelajahi serta menyalurkan syahwat pada pasangannya yang belum ada ikatan sah.

Ada kisah-kisah menarik dalam perjalanan penangkapan orang berkalwat di Aceh. Koran menulis, semua hasil tangkapan telah pernah dan sedang melakukan hubungan suami istri. Ada imeg berpacaran tidak melakukan hubungan suami istri, maka di anggap tidak menyintai pasangannya. Kenapa ini terjadi di Kota dan Gampong Aceh. Bagaimana peran Wilayatul Hisbah (WH) mengawal syariat Islam di Aceh? Siapa yang bersalah?

Pergeseran kebudayaan telah terjadi, seperti kawin duluan nikah kemudian telah dipraktekkan oleh muda mudi Aceh.
Setelah bunting baru sibuk memikirkan abrosi, jika penguguran gagal, maka sibuk mempersiapkan pernikahan kilat bagi calon pengantin. Baru beberapa bulan menikah, pengantin baru telah mempunyai keturunan. Ada apa ini?
Munculnya permasalahan moral, sosial, kriminal, pergeseran nilai, ditambah lagi benteng sosial rakyat Aceh sangat rapuh, sehingga budaya luar dengan mudahnya terserap dalam kehidupan. Apa yang dulu dipandang tabu telah bergeser menjadi lumrah dan biasa dalam kehidupan masyarakat.

Gaya hidup orang Aceh telah sama dengan kehidupan orang barat. Sekarang menjadi pertanyaan, kenapa ini terjadi di Aceh? Apa karena lemahnya pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat atau telah jauh dari norma agama dan melangkahi adat istiadat Aceh.

Pembuktiannya dengan banyak anak muda lagi mabuk kasmaran melakukan hubungan suami istri tanpa ada ikatan. Ini telah terjadi pergeseran tata cara perkawinan dalam masyarakat Aceh, berlangsung tak kala anak muda yang layak kawin, berkawin dengan pasangannya hanya berlandasan saling menyintai dan saling memiliki, sehingga diserahkan mahkota keperawanan kepada kekasihnya.

Apa yang akan terjadi dikala Aceh dipimpin oleh anak haram? Apa yang terjadi dibawah kerajaannya? Dengan sendirinya generasi Aceh telah hilang jati diri keacehaannya. Asyik dan terlena dengan kebudayaan barat. Semua sektor telah dikuasai oleh budaya luar, kita menyaksikan orang-orang akan tercabik akar budayanya, rapuh
solidaritasnya, buntu kreativitasnya, terlena dengan membangga-banggakan kelompoknya. Hal ini akan terjadi dan telah terjadi, maka jangan salahkan siapa-siapa, apabila Aceh akan kehilangan generasi (lost generation) yang tidak mengetahui kebudayaan dan karakternya.

Tatanan sosial Islami telah rusak di Aceh, seperti perubahan yang mecolok di Banda Aceh, setiap malam mingguan, jalan-jalan utama selalu di penuhi oleh pasangan muda mudi yang asyik bermesraan di atas kereta. Lain lagi di tempat-tempat yang tidak diketahui oleh masyarakat. Karena itulah sering berdua-an dengan lawan jenis bukan suami atau mahram, telah mengantarkan mereka kepada perbuatan zina.

Lain lagi cerita di Gampong, ada orang tua susah karena telah memiliki anak perempuan. Kenapa ini terjadi? Padahal anak perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak laki-laki. Apa karena merasa takut dengan kehadiran seorang anak perempuan dalam keluarga, takut memalukan keluarga kalau dia telah besar.
Kasus diatas adalah satu dari sekian banyak keluarga di Aceh, mengeluh takut memiliki anak perempuan. Katanya anak perempuan susah dijaga, apalagi keadaan zaman telah globalisasi, anak perempuan cepat sekali terjerumus dalam perbuatan dosa. Takut anak perempuannya akan membuat aib bagi keluarga.

Dalam kondisi seperti ini, apakah kita bangga dengan keadaan generasi penerus Aceh, ada yang tidak taat menjalankan perintah agama lagi. Jangan berbangga dengan pembangunan betingkat – tingkat, seharusnya menanggis dengan kondisi akhlak anak muda Aceh yang telah hancur berkeping keping. Tentu tidak ada artinya pembangunan itu, apabila yang menjadi penerus bangsa tidak tahu diri.

Pengalaman Penulis, melihat langsung kondisi pergaulan bebas di Pantai Pataya Thailand. Tidak ada yang menangkap apabila melakukan khalwat, mereka hidup bebas, kawin dengan siapa saja. Dimana pendatang melakukan kawin kontrak dalam hitungan jam, hari, minggu, bulan dan tahun dengan wanita penghuni pantai. Mereka membiayai kebutuhan hidupnya dari hasil jual diri. Perkawinan dilakukan dengan harapan, bahwa dapat memuaskan nafsu birahinya. Pihak lelaki membayar jerih payah wanita yang telah menjadi teman selama keberadaanya di pantai. Apa kebudayaan seperti akan terjadi di Aceh?

Aurat dan perubahan sosial

Menurut fatwa Imam an-Nawawi, bahwa setiap yang haram dilihat, maka haram untuk disentuh, karena sentuhan lebih tinggi tingkatannya dalam hal menimbulkan kenikmatan syahwat. Zaman telah berubah, dengan seenaknya para penjaja aurat membuka paha tinggi-tinggi tampa memerhatikan orang lain, yang memelihara pandangannya.

Perubahan sosial seperti ini telah terjadi dalam tatanan kehidupan Aceh, dimulai dari segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan, nilai-nilai, sikap dan pola perilaku kelompok dalam masyarakat. Perubahan sosial dalam masyarakat Aceh dimaknai sebagai variasi dari cara-cara hidup yang lebih diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi gerografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena penemuan baru didalam masyarakat.
Tawaran solusi

Pergeseran sosial budaya di Aceh telah melewati batas, biasanya dalam sebuah keluarga di Aceh, apabila salah seorang anaknya telah dewasa, para orang tua mulai sibuk memikirkan mencari jodoh anaknya. Tapi sekarang anak mencari jodohnya sendiri lewat proses pacaran.

Tata cara perkawinan dalam adat Aceh seperti cah ret (melicinkan jalan), Seulangkee, Meutunangan (bertunangan) hingga menikah hanya tinggal nama. Tidak ada lagi saling menjaga budaya Aceh, sehingga tidak ada lagi yang melarang perbuatan melanggar norma-norma agama dan kemasyarakatan.

Tawaran solusi dari sekian banyak permasalah yang timbul adalah segera mencari jodoh dan menikahkan para pemuda pemudi dengan pasangannya. Mungkinkah pernikahan dapat menyelesaikan masalah?

Penulis:
Mantan Pimpinan Umum Tabloid DETaK mahasiswa Unsyiah Periode 2005-2006.

0 komentar: