Kamis, 31 Desember 2009

Pulo Aceh Masih Terisolir

Banyak anak muda di sini tidak bisa baca tulis, banyak uang mengalir ke Aceh. Ada Gampong belum tersentuk oleh pembangunan. Terpencil dan terisolir, malam tiba kehidupan masyarakat gelap gulita. Jika sakit mendadak, tidak ada perawat dan pukesmas pembantu yang siap membantu kesehatan warga. “Sering warga sakit, hanya berharap pada Allah supaya dipanjangkan umurnya”, ucap Zainuddin, Sabtu (19/7).

Geusyik Lapeng ini sangat mengharapkan kepedulian pemerintah daerah membangun rakyat yang dipimpinya. “Kami sangat membutuhkan fasilitas umum yang belum ada sampai hari ini, seperti rumah sekolah, pukesmas pembantu, tanggul, dermaga, bale nelayan,” ucapnya kepada Acehkita saat berkunjung ke gampongnya.

Kami disini, tidak ada tempat singgah boat bagi para warga yang ingin pulang dan keluar gampong. Warga pulang ke gampong, tunggu air pasang naik, baru bisa baot masuk ke kampong. Kami menunggu di laut sampai pasang air, kadang-kadang menunggu berjam-jam di laut. “Sampai hari ini kami menunggu di laut dulu biar bisa masuk boat ke kampong,” ucap Zainuddin dengan sedih.

Zainuddin atas nama penduduk Lapeng Pulo Aceh ini berharap masih ada perhatian pemerintah daerah mengurus warga yang masih terisolir di sini, ucapnya.

Sementara itu Drs. Sulaimi, camat Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar mengatakan kepada Acehkita ada empat wilayah di Pulo tidak ada PLN negara, yaitu Deudap, Alue Raya, Lapeng dan Meulingge. “Tidak ada PLN disana,” ucap Sulaimi, Minggu (10/8) di sekretariatan Pulo Aceh, Punge Banda Aceh.

Sulaimi menambahkan kenapa ada warga disana tidak punya rumah, seperti di Rinon dan Alue Raya. Dulu waktu pertama rehab rekonstruksi dimulai. Masuk bantuan rumah kedua daerah itu, ada satu lembaga yang memprovokasi warga supaya tidak menerima rumah bantuan tersebut. Katanya tidak layak huni, akhirnya semua warga tidak mau menerima bantuan rumah itu. Akhirnya bantuan pembangunan rumah dialihkan pembangunan ke Meulingge.

Seperti pembangunan rumah pendidikan di Deudap. Ada enam belas ruangan, delapan belas orang murid dan delapan orang guru pengajar. Guru dengan murid lebih banyak gurunya. Satu hal lagi banyak guru menetap di Banda Aceh, karena pemerintah tidak memperhatikan nasib mereka. Pulang pergi mengajar ke Pulo, membutuhkan dua kali lipat biaya, ucap Drs. Sulaimi.

Satu lagi yang menghambat pembangunan di pulo adalah susah membawa material dari Banda Aceh ke Pulo Aceh. Harga material dua sampai tiga kali lipat jika telah sampai ke sana. “Saya sendiri tidak mau mencampuri urusan dengan proyek,” ucap camat dengan polosnya.

Pulau Aceh adalah pulo harapan. Dikelilingi oleh laut, sebanyak 17 gampong, dibagi tiga kemukiman yaitu mukim pulo nasi, mukim pulo breah utara dan mukim pulo breah selatan. Jumlah penduduk 5.600 jiwa. Bermukim di dua pulau yaitu pulau nasi dan pulau breah. Potensi sangat bagus di pulo jika pemerintah dan swasta mengembangkanya, kata Sulaimi lagi.

Drs. Sulaimi menambahkan banyak uang masuk ke Pulo, tetapi ada yang tidak ada hasil apa-apa. Seperti Alue Riyeun, sekitar 5 milyar dana bantuan dari berbagai lembaga donor membangun gampong tersebut. Datang ketempat itu, seperti tidak ada pembangunan apa-apa lagi.

Sementara Bulqaini, salah seorang relawan yang telah lama bertugas di Pulo Aceh mengatakan, banyak anak-anak pulo tidak bisa membaca. Ia mengusulkan pendidikan di Pulo Aceh dengan menerapkan model pendidikan sistem asrama. Karena antara satu gampong ke gampong ada harus naik boat. Tidak bisa menggunakan transfortasi darat. Satu lagi biaya transportasi laut mahal disana.

Bulqaini menyarankan semua peserta didik Pulo Aceh diasramakan di satu lokasi yang dibangun oleh pemerintah. Hal ini akan membantu masyarakat pulo dalam mendidik anak-anaknya, demikian Bulqaini. [Bahagia Ishak]

0 komentar: